Check this !!

Kamis, 06 Juni 2013

BREAKING ROCK



               Dhea berjalan menyususri troroar jalan hampir sepuluh menit. Menunggu bus yang akan membawanya pulang tak kunjung datang. Hari ini Dhea pulang telat. Dua jam berlalu di ruang OSIS setelah bel pulang sekolah berbunyi. Rapat lagi. Akhir-akhir ini anak OSIS memang sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan acara pensi sekolah yang akan di gelar seminggu lagi.
                Itu dia. Bus yang ditunggu-tunggu Dhea akhirnya datang juga. Tapi bus itu kelihatan aneh. Biasanya kalau ada penumpang, bus akan mengurangi kecepatan. Dhea melambai-lambaikan tangan-nya meminta sopir bus untuk berhenti. Alhasil, bus itu justru lewat dan menambah kecepatannya. Padahal sekilas terlihat masih banyak kursi penumpang yang kosong di dalamnya.
                Dhea berjalan lagi menyusuri trotoar. Tanpa disadari angin kencang menerbangkan tugas-tugas OSIS yang sudah lama kerjakannaya. Kertas-kertas itu melayang ke arah jalanan. Dhea berusaha menangkap dan mengumpulkannya kembali. Untungnya jalanan itu masih sepi. Tak terlihat satu kendaraan-pun melintas. Dhea segera memungut kertas-kertas itu.
                Tiba-tiba gemuruh suara terdengar dari arah belokan perempatan jalan. Dhea masih terpaku. Ia mengira-ngira suara gemuruh apa itu. Matanya membelalak ketika melihat segerombolan siswa berseragam putih-abu berlari dari kejauhan sembari membawa bandul tajam dan balok kayu.
                Dhea semakin mempercepat pekerjaannya mengumpulkan kertas tugas. Dia tak mau usahanya selama ini sia-sia belaka. Mata Dhea kini semakin tak fokus. Dia semakin diliputi kepanikan ketika kelompok tawuran pelajar itu kian mendekat sementara masih banyak kertas yang belum sempat ia kumpulkan. Saat rombongan pelajar itu berjarak sekitar delapan meter, saat itu juga seseorang dari belakang menarik tangannya. Membawa Dhea ke arah jalan sempit di sela gedung untuk bersembunyi. Didekapnya tubuh Dhea memipir ke arah dinding. Dhea memejamkan matanya dalam pelukan orang yang sama sekali tidak dikenalnya itu. Pikirannya masih melayang jauh membayangkan dokumen-dokumen penting OSIS yang dikerjakannya selama ini hancur terinjak-injak. Sia-sia sudah kerja kerasnya siang-malam bahkan tidak tidur untuk menyelesaikan dokumen itu.
                Terdengar gemuruh tawuran pelajar itu menjauh dari sisi jalan. Orang tak dikenalnya itu-pun segera melepaskan dekapannya. Dhea masih syok mengingat kejadian tadi, dimana nyawanya hampir melayang gara-gara terjebak diantara tawuran pelajar dan juga masalah dokumen pentingnya yang entah sekarang bagaimana wujudnya. Kemudian suara bentakan menyadarkan dirinya kembali.
“Lo mau nyari mati ya?!”
                Dhea membuka mata. Dilihatnya sesosok orang berseragam putih abu-abu dengan seragam yang berantakan. Bajunya tak lagi rapi masuk ke dalam celana. Celananya-pun dengan setelan robek-robek di dengkul. Dhea mengira, orang itu pasti bagian dari kelompok tawuran pelajar tadi. Dhea refleks memukul orang itu dengan map tebal dokumen yang dibawanya. Sementara orang itu sibuk menahan serangan Dhea.
“Gimana dengan dokumen gue? gue siang-malem ngerjain itu, bahkan sampe gak tidur.. sekarang semuanya sia-sia tau gak..”
“Eh saraf lo ! Nyawa lo hampir aja ilang, lo masih mikirin kertas-kertas itu..”
“Kertas itu penting banget buat gue, pensinya itu seminggu lagi tau gak.. gue harus gimana sekarang..”
“Ya urusan lo.. apa hubungannya sama gue.. bukannya terimakasih udah gue selametin, eh malah nimpuk gue lo, dasar gak tau diuntung..”
                Orang itu malah terlihat sibuk menyeka debu-debu di pakaiannya, bahkan tanpa memperdulikan Dhea. Tapi terlihat jelas Dhea tidak terima perlakuan orang itu. Bahkan dengan mata tajam Dhea terus menatap orang di depannya.
“Melotot aja sampe mata lo lepas, gue gak bakal minta maaf..”
                Dhea semakin kesal sedangkan orang tak dikenal itu malah bergegas pergi. Dhea bisa membiarkan orang itu pergi begitu saja. Tapi satu hal yang membuatnya sedikit tercengang. Sampai membuat Dhea menarik tangan orang itu dan membuatnya menghentikan langkah. Badge yang dipakainya.
“Lo anak Yudhistira juga?”
“Gak usah pura-pura gak tau deh lo..”
“Lo bisa dikeluarin dari sekolah kalo lo ikut tawuran kayak gini tau gak..”
“Lo siapa? Ibu gue? Keluarga gue? Gak penting lo..”
                Tangan Dhea kini tak mampu mencegah kepergiannya. Orang itu membuat darah Dhea semakin mendidih. Sudah berbaik hati Dhea mau menasehatinya, atau paling tidak Dhea tidak akan melaporkannya ke kepala sekolah. Menerima kenyataan bahwa mereka satu sekolah tampaknya akan membawa masalah baru. Walaupun Dhea tak tahu persis siapa orang yang menghancurkan dokumen pentingnya itu, tapi satu petunjuk yang bisa membuat orang itu akan bertanggung jawab. Dion. Nama yang juga tertera di badge seragam putih-nya.
                Pencarian hari pertama. Tak begitu sulit menemukan nama Dion. Apalagi dalam sekolah yang sama. Mungkin akan ada beberapa Dion yang akan Dhea investigasi nanti. Bagaimana-pun caranya, Dhea akan membuat orang yang bernama Dion itu bertanggung jawab atas kerusakan dokumen pentingnya. Apalagi pensi sekolah tinggal seminggu lagi. Dhea harus segera menemukannya.
“Kak Bagas..!!”
                Pekik Dhea ke kakak kelasnya itu. Kakak kelas yang cukup populer di sekolah. Juga kakak kelas yang berpangkat Ketua OSIS. Untung Dhea memiliki relasi yang cukup banyak. Tentu memudahkan pencarian Dion. Akan lebih cepat dan akurat menanyakan Dion kepada Kak Bagas.
“Eh, Dhe, gimana dokumennya? Udah selesai..”
                Pertanyaan yang tentunya berusaha dihindari Dhea. Mungkin wajar kalau Kak Bagas menanyakan hal itu. Pensi sekolah tinggal seminggu lagi. Sebagai Sekertaris OSIS yang baru, Dhea harus sudah menyelesaikan semua dokumen-dokumen itu tepat pada waktunya. Sebelum Dhea menemukan Dion, sepertinya Dhea akan sedikit menebar kebohongan.
“I-i-iya kak, masih dalam proses.. Mm kak, Dhea mau nanya..”
“Mau nanya apa?”
“Kakak tau gak sama siswa yang namanya Dion?”
                Kak Bagas tiba-tiba tersedak ketika Dhea menyebutkan nama Dion. Dhea khawatir. Ia mendekat dan menepuk-nepuk pundak Kak Bagas. Dengan sedikit ragu ia menawarkan botol air mineral, tapi Kak Bagas menggeleng. Sambil mengelus-elus dadanya Kak Bagas mencoba menjawab pertanyaan Dhea.
“Kamu.. ada perlu apa sama Dion?”
“Kakak kenal?”
“Ng-nggak, kakak gak kenal kok..”
“Itu.. Mm ada barang yang jatuh kak, kayaknya penting,, jadi aku mau balikkin, gitu kak..”
“Oh gitu.. iya, kakak gak kenal, maaf ya..”
“Gakpapa kok kak, Dhea duluan ya kak..”
Kak Bagas hanya tersenyum. Dhea sesegera mungkin meninggalkan Kak Bagas. Dhea takut Kak Bagas akan bertanya macam-macam mengenai dokumen itu. Sampai ia berhasil menemukan Dion, barulah Dhea akan berterus terang. Mungkin dekat-dekat ini Dhea akan terus menghindari Kak Bagas.
Dhea tak ingin hari ini berlalu dengan sia-sia. Dan Tuhan menunjukkan jalan. Tak sengaja ia mendengar kelompok siswa yang sedang ngobrol santai di bangku teras. Terselip nama Dion di situ. Dengan cekatan Dhea ikut nimbrung untuk mencari informasi mengenai Dion.
Ekspresi syok wajah mereka ketika Dhea menanyakan dimana kelas Dion sama seperti Kak Bagas tadi. Mereka tiba-tiba bubar satu persatu sebelum memberitahu Dhea dimana kelas Dion. Tapi saat siswa terakhir ikut beranjak, dengan sedikit paksaan, akhirnya ia memberitahu Dhea. Tak cukup sampai disitu. Dhea ingin mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya. Jawaban mengapa ekspresi Kak Bagas dan siswa-siswa tadi aneh saat ia menyebut nama Dion.
Dion Prasetya. Siswa kelas XI di SMA Yudhistira sekaligus sebagai ketua geng tawuran di sekolah. Terkenal sebagai seorang trouble maker. Semua orang yang berurusan dengannya pasti tak pernah jauh dari masalah dan bahaya. Di sekolah dia cukup terkenal karena title biang kerok. Dalang dari semua kerusuhan di sekolah. Kabarnya dia benci sama anak-anak OSIS. Dia gak suka sama anak-anak yang sok patuh dan sok teladan seperti itu. Setiap ada anak OSIS yang melintas di depannya pasti dikerjain habis-habisan tanpa kecuali. Oleh karena itu, anak-anak di sekolah selalu menghindari Dion. Mereka tak mau terlibat masalah.
Dhea tercengang mendapatkan jawaban itu dan kembali menghela napas. Sebegitu seram sosok Dion di mata siswa sekolah. Ia terduduk kembali. Nyalinya hampir ciut. Bahkan berpikir untuk tidak melanjutkan niatnya. Sesaat kemudian, Kak Bagas kembali terlihat. Dhea kini salah tingkah. Bagaimana kalau nanti Kak Bagas memepertanyakan dokumen itu. Dhea pura-pura tak melihat dan akan beranjak pergi tapi Kak Bagas menahan meraih lengannya.
“Mau kemana..?”
“Mm.. mau ke kantin kak..”
“Ya udah bareng aja..”
“Eh, gak jadi kak, soalnya tadi dipanggil guru ke kantor.. mm ada apa ya kak?”
“Oh gakpapa.. kamu lusa malem kosong gak?”
“Lusa malem? Kayaknya kosong deh.. kenapa?”
“Ya udah kalo gitu aku jemput ya, kita makan malem bareng..”
“Oh iya-iya, boleh kak..”
“Jam tujuh aku jemput ke rumah. Oke!”
“Siip bos.”
Kak Bagas mengacak-acak rambut Dhea sebelum pergi. So romatic!. Pipi Dhea memerah. Bukan kali ini saja Kak Bagas memperlakukannya demikian. Sepertinya Kak Bagas mulai jatuh hati pada Dhea. Tapi Dhea tak ingin buru-buru mengambil kesimpulan. Rasa bersalah Dhea semakin dalam. Tekadnya kini semakin kuat. Apapun yang terjadi, ia akan menemui Dion dan meminta pertanggungjawaban karena dokumennya yang rusak.
Sesuai petunjuk yang diberikan orang tadi, kelas Dion berada paling ujung gedung timur di lantai tiga. Diamatinya sekali lagi kelas itu. Sebenarnya lebih mirip gudang daripada kelas. Apa benar ada siswa yang belajar di situ. Tak lama ada seorang siswi melintas dengan seragam acak-acakan dan rok yang pendek ketat, bahkan lebih layak disebut hotpants daripada rok. Tatapan matanya tajam ke arah Dhea. Dilihatnya Dhea dengan tatapan tak suka kemudian segera berlalu.
Walaupun agak ragu, ia memberanikan diri masuk ke kelas itu. Sampai di depan pintu kelas, ia disambut segerombolan siswa yang juga berpakaian acak-acakan. Dhea menghela napas. Ini namanya menceburkan diri ke lubang buaya. Tapi apapun yang terjadi, ia harus melewatinya demi dokumen itu.
“Permisi kak, saya mau cari Dion, dia bener di kelas ini kan?”
“Wow-wow, liat siapa yang dateng.. anak OSIS man!.. mau cari mati dia kesini..”
“Maaf ya kak, saya bukan cari mati, saya cari DION.”
“Kita suruh masuk aja gimana man! cantik juga nih cewek, lumayan buat mainan..”
“Permisi!”
Dhea masuk bahkan tanpa memperdulikan mereka lagi. Dilihatnya keadaan kelas. Penuh dengan asap rokok. Meja dan kursi yang berantakan. Tak ada satupun buku yang tergeletak di atas meja, yang ada hanya kartu-kartu bridge bertebaran. Dipertajam matanya mencari Dhion. Samar-samar ia masih ingat bagaimana raut muka Dion. Itu dia. Sedang duduk santai sendiri di pinggir jendela. Kakinya naik di atas meja sembari menghisap batang rokok. Dhea mendekat. Takutnya kini hilang. Orang seperti itu tak perlu ditakuti.
Dion tak juga merespon saat Dhea mendekat. Pandangannya tak lepas dari kaca jendela. Sampai seseorang meneriakinya dari depan pintu kelas. Sepertinya benar ia seorang ketua geng rusuh. Setelah itu, barulah ia menoleh.
“Bos, ada cewek cantik tuh nyari lo..”
Teriakan salah seorang jongosnya. Dion menoleh. Dilihatnya Dhea dengan tatapan tak suka. Satu pandangan yang melekat adalah saat Dion melihat badge OSIS menempel di seragam Dhea. Dion langsung berdiri dan mematikan rokoknya. Tanpa basa-basi Dhea langsung menghujat Dion dengan tuntutannya.
“Permisi! Gue mau minta pertanggungjawaban lo.”
“Wow, gue gak merasa pernah tidur sama lo, kenal aja gue gak..”
“Tidur? maksud lo? eh, lo denger ya, gue mau minta pertanggungjawaban lo karena lo sudah buat dokumen penting gue hancur tau gak.”
Dion mengitari Dhea. Diperhatikannya Dhea dengan seksama dari atas kepala sampai ke bawah kaki. Begitu pula dengan teman-teman badungnya yang lain. Dhea sebenarnya merasa sangat terancam di situ tapi ia berpura-pura tak takut dan mencoba tetap berdiri tegak.
“Oh, lo anak yang kemarin nongkrong di tengah orang tawuran ya..”
Dhea menatap Dion dengan pandangan tajam tak suka. Dion malah membalasnya dengan senyum sinis. Kemudian berdiri di depan Dhea dengan tangan di depan dada. Dhea mendongak untuk dapat melihat mata Dion. Tak salah jika Dion dijuluki trouble maker di sekolah. Dari gaya dia menatap saja sudah ketahuan betul.
“Lo denger ya, dalam sejarah, gak ada anak OSIS yang berani masuk ke sini atau keluar dengan keadaan selamat dari sini, dan lo..”
“Gue gak perduli, yang jelas lo harus tanggung-jawab, lo tau.. ini menyangkut nama sekolah.”
“Persetan sama sekolah lo, shit tau gak! Bawa dia keluar..”
“Eh, gue belum selesai...”
Tanpa memperdulikan Dhea, jongos-jongos Dion menyeret Dhea keluar dari kelas. Dhea mencoba terus tinggal tapi tenaganya kalah jauh dibanding mereka. Dengan terseret-seret, Dhea keluar dari kelas itu. Ditatapnya lagi Dion dengan pandangan tak suka. Sementara Dion kembali menghidupkan rokoknya. Dhea kembali nyelonong masuk tiba-tiba kemudian menginjak kaki kiri Dion dengan geram, setelah itu Dhea berlari keluar sekuat tenaga sebelum jongos Dion menangkapnya. Dion mengangkat kakinya kesakitan, jongos–jongos Dion mencoba mengejar Dhea tapi Dion menggeleng, mereka-pun berhenti. Terlihat senyum dari wajah Dion.
Setelah agak jauh, Dhea berhenti dan menoleh. Tak ada lagi orang-orang yang mengancam keselamatannya kini. Dhea kecewa karena ia tak berhasil mendapatkan apa-apa. Dan tiba-tiba sebuah rencana cemerlang melintas di otaknya.
“Gue mau ngasih alamat Dion, tapi gue minta satu ciuman di pipi gue.. yang hot ya..”
Dhea kembali memutar otak. Dia meminta salah satu teman sekelas Dion memberitahu alamat rumah Dion dengan syarat satu ciuman. Dhea menyetujui. Dimintanya teman Dion menuliskan alamat rumah Dion di kertas kemudian memejamkan mata. Tak lama ia mengangkat sebuah map dokumen tebal dan PPLLAAKK. Sebuah tamparan keras dipipi orang cabul itu. Dhea segera kabur dengan membawa kertas berisi alamat rumah Dion. Sementara orang itu memegangi pipinya yang sakit.
Diamatinya sebuah rumah besar yang tepatnya lebih mirip istana daripada rumah. Dhea mencocokan alamat rumah dengan alamat yang ada di kertas. Bahkan nomor rumahnya-pun cocok. Dhea masih tak yakin, apa benar rumah ini rumah Dion. Dilihatnya sekali lagi rumah itu. Dengan halaman yang agak berantakan, Dhea yakin kalau ini memang rumah Dion. Dhea menekan bel rumah itu tapi tak ada jawaban. Dhea kemudian mengetuk pintu rumah itu sekuat tenaga. Tak lama pintu rumah terbuka. Tampak Dion berbalut handuk membuka pintu rumah itu. Dhea-pun cepat-cepat menutupi matanya dengan kedua tangan.
“Ngapain lo kesini?”
“Lo gak sopan banget, masa’ nerima tamu pakek handuk, cepetan pakek baju lo..”
“Salah sendiri kenapa lo dateng pas gue lagi mandi.”
Dhea malah masuk ke dalam dan duduk di sofa ruang tamu rumah Dion. Dion menatap Dhea masih dengan pandangan tak suka. Dion pikir bahkan Dhea lebih tak sopan karena masuk ke rumah orang tanpa dipersilahkan. Dion kembali dengan sudah berbalut kaos dan celana pendek. Dilihatnya Dhea mengeluarkan laptop dari dalam tas dan beberapa kertas. Dion menatap Dhea dengan pandangan aneh.
“Mulai sekarang, tiap hari gue bakal dateng kesini, jadi lo harus terbiasa ya, yuk kita mulai..”
Dion melemparkan kertas-kertas itu ke lantai dengan keras. Ditatapnya Dhea dengan pandangan benci. Dhea menjawab tantangan mata Dion. Dhea tak mau menyerah. Dipungutnya kembali kertas itu dan ditempatkannya rapi di atas meja.
“Lo gak punya rasa takut ya? Lo baru aja masuk ke kandang macan..”
“Mana macan-nya? Gak ada kan.. Yuk kita mulai, jam lima gue mesti pulang..”
“Gak usah macem-macem lo, lo bisa mati disini..”
“Gue gak macem-macem kok, cuma satu macem, gue minta lo kerjain dokumen gue, kalo gue ngerjain sendiri dokumen itu gak bakal selesai tepat waktu.. kalo udah selesai, gue bakal pergi sendiri kok, gue janji.”
Dion hampir menyerah dengan sikap Dhea. Dengan terpaksa dituruti permintaan Dhea. Dion membaca sket rencana tugas itu dan mulai mengetik beberapa kata. Dhea melihat Dion dengan senyum puas. Tapi sebenarnya Dhea masih kagum dengan interior rumah itu. Sepertinya Dion adalah anak orang kaya. Walaupun rumahnya sedikit berantakan. Sepertinya rumah itu jarang dibersihkan.
“Lo tinggal di rumah sendirian ya?”
“Lo cuma minta gue ngerjain dokumen, lo gak minta gue jawab pertanyaan lo kan..”
“Yee, kan gue cuma nanya doang.. mm, lo punya makanan gak, gue laper..”
Dion berhenti mengetik dan dilihatnya Dhea masih dengan tatapan tak suka. Dhea malah membuat wajah innocence. Dion melanjutkan tugasnya agar Dhea cepat pergi. Dhea malah terduduk lemas di sofa sambil memegangi perut. Tapi apa yang dikatakan Dhea memang jujur. Dia belum makan dari siang tadi karena harus mencari alamat rumah Dion. Dion meliriknya lagi.
“Tuh di kulkas..”
Dhea bersemangat dan tersenyum. Dia bangun menuju dapur sesuai arah jari telunjuk Dion yang telah diacungkan. Sepintas ia melewati beberapa ruangan. Satu yang membuatnya tertarik adalah lemari besar tua yang tertutup kain hitam berdebu. Diamatinya kain itu. Tampak ada yang berkilauan. Dhea-pun memberanikan diri menyeka kain itu. Tampak syok terlihat dari wajah Dhea, lemari itu berisi tumpukan piala. Sangat banyak jumlahnya. Namun Dhea segera tersadar dan kembali ke dapur.
Sama seperti ruang tamu, dapur ini-pun memiliki interior yang bagus. Dhea menuju kulkas. Dibukanya pintu kulkas. Tak henti-henti Dhea terkejut. Kulkas itu penuh dengan makanan. Apa saja yang ia inginkan ada di kulkas itu. Semua serba instan. Dhea berpikir pasti Dion jarang makan masakan rumahan. Apalagi rumahnya terlihat kosong. Entah pergi kemana keluarga Dion. Rasa iba Dhea muncul. Dhea berniat memasakkan soup untuk Dion.
“Gue pinjem dapur lo bentar ya..”
Dhea berteriak pada Dion. Suaranya nyaring sampai ke ruang tamu. Dion berhenti mengetik kembali kemudian berdiri dengan raut muka hendak marah. Tapi kemudian ia duduk kembali dan melanjutkan pekerjaannya. Kali ini sebuah senyum terpancar dari wajahnya.
Aroma yang sangat enak tercium sampai ke depan ruang tamu. Dion sedikit mengendus dan menelan ludahnya. Tak lama Dhea dengan celemek masak datang membawa nampan. Diatas nampan itu ada dua buah mangkuk hitam marmer yang berkepul asap. Aroma yang sedap tadi semakin kuat tercium tapi Dion berpura-pura tidak tertarik. Dhea menghidangkan soup itu tepat di depan Dion.
“Oke, selamat makan..”
Lima menit berlalu Dhea selesai makan. Tapi Dion tak sedikit-pun menyentuh soup itu. Dhea pikir pasti Dion tidak suka soup. Dhea membiarkannya saja tanpa berkata apapun. Sampai jam gadang besar berdentang. Tepat pukul lima sore. Sesuai janji, Dhea harus pulang.
“Udah jam lima kan? urusan lo disini udah selesai, pergi sana..”
“Iya, ini juga gue baru mau pulang.. tapi besok gue dateng lagi..”
“Iya, besok hari terakhir lo dateng kesini.”
“Hah? Lo udah selesai?”
Dhea memeriksa tugas yang diberikannya pada Dion. Benar saja. Bahkan belum sempat Dhea menjelaskan bagaimana seharusnya Dion memperbaiki tugas itu, tugas itu sudah hampir selesai. Mustahil. Dion mengerjakan semua tugas-tugas itu hanya dalam waktu dua jam. Dhea tak mau percaya. Ia memastikan tugas itu dikerjakan dengan benar. Dhea kembali menganga, dokumen itu telah tersusun rapi bahkan lebih baik daripada buatan Dhea. Dhea menatap Dion dengan curiga. Tak sengaja Dion menyadari tatapan itu. Mereka saling bertatapan.
“Apa?”
“Gakpapa.. gue pulang dulu..”
                Dhea mengemasi barang-barangnya. Sementara Dion berjalan ke arah pintu dan membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Dhea cemberut. Sebegitu kuatnya niat Dion mengusir Dhea. Pintu rumah itu terlalu lebar sebenarnya untuk dilewati. Bisa muat untuk lima orang sekaligus. Dhea lalu pamit pada Dion. Dion hanya memasang tampang tak suka.
“Besok gue kesini lagi, jam dua, kita bakal ngabisin banyak waktu buat ngerapiin rumah lo.. dan..”
Dion masih tak merespon dan berpura-pura tidak mendengar. Dhea dibuatnya seperti orang linglung karena bicara sendiri. Dhea merasa agak berat melangkah. Entah apa yang ada dipikirannya. Dhea berbalik dan memasang tampang kasihan.
“Lo gak mau nganter gue sampe ke gerbang komplek gitu? jauh.. kan gue capek kalo harus jalan..”
“Itu kan masalah lo, siapa suruh lo dateng kerumah gue.”
BRAKK. Dion menutup pintu rumahnya. Sementara Dhea terlihat kesal dengan perlakuan Dion. Dia menendang pintu rumah Dion dengan kaki, tapi kemudian mengangkat kakinya karena sakit. Dibalik pintu itu Dion tersenyum, bahkan tertawa lepas. Dia bejalan menuju sofa ruang tamu. Diambilnya mangkup soup itu. Dion-pun makan dengan lahap.
Dhea bejalan dengan ceria. Dokumen itu hampir selesai. Setidaknya ia masih punya kesempatan sebelum pensi berlangsung. Tiba-tiba Dhea dikejutkan dengan kedatangan Kak Bagas. Dhea sebenarnya pura-pura tidak tahu. Saat Kak Bagas berjalan ke arahnya, ia berusaha sekuat tenaga menghindar. Tapi lagi-lagi Kak Bagas menahan tangannya.
“Dhe, mau kemana?”
“Eh, Kak Bagas, gak kemana-mana kok..”
“Gimana dokumen buat pensi nanti? udah kelar kan?”
“Itu.. anu, iya sih udah kelar kak..”
“Bagus, besok kita bahas ya di rapat OSIS.”
“Besok? tapi kak.. sebenernya masih ada dokumen yang mau Dhea revisi..”
“Oh gitu, ya udah, kita bahas yang ada dulu aja.”
“Iya deh Kak..”
“Mm jam tujuh nanti kita jadi makan malem kan?”
“Apa? Oh iya, jadi kok..”
“Oke, ntar aku jemput. Bye.”
Kak Bagas berlalu meninggalkan Dhea dalam kecemasan. Dhea-pun menggaruk kepalanya sendiri. Bagaimana mungkin ia mengiyakan ajakan makan malam Kak Bagas sementara ia harus menyelesaikan tugasnya di rumah Dion. Dhea membenturkan kepalanya ke dinding. Tak sangka di samping dinding, Dion bersandar sambil meletakkan kedua tangannya di kantong celana. Dion akhir-akhir ini jadi sering senyum sendiri.
“Bos, jam dua kita jadi ke Cafe kan?”
Salah satu jongos Dion mengejutkan. Dion menatap teman-temannya itu. Dirangkulnya bahu mereka sembari berjalan. Suasana hati Dion mungkin sedang senang saat ini. Teman-teman yang biasa menemaninya tahu betul bagaimana sifat Dion. Mereka semakin curiga.
“Kalian pergi aja, gue ada janji..”
“Mm, bos mau nge-date ya? hah, akhirnya ada juga yang mau sama Bos kita..”
“Kurang ajar lo.. gini-gini juga gue masih laku..”
Mereka cekikikan sampai ke ruang kelas. Kelas tampak berbeda. Tak ada lagi asap rokok bertebaran. Meja dan kursi-pun tak seberantakan dulu. Teman-teman kelas Dion heran dengan sikap kepala pencongnya itu. Sepertinya ada yang salah dengan otak Dion.
Tok-tok-tok.. Tok-tok-tok.. Suara pintu rumah Dion diketuk oleh Dhea sedemikian keras. Sejak lima menit lalu Dhea berdiri di situ menekan bel tapi Dion tak kunjung keluar. Akhirnya Dhea memutuskan mengetuk pintu rumah Dion. Tanpa diketahuinya Dion sudah berdiri di depan pintu satu jam lalu menunggu kedatangan Dhea. Dion tersenyum. Kemudian ia memasang tampang seperti biasa, tampang tak suka pada Dhea, lalu membuka pintu.
“Gue gak budeg, lo gak perlu ngetok sampe kayak gitu..”
“Habisnya, gue udah lima menit di depan pintu.. lo kemana sih?”
Dion tak menjawab pertanyaan Dhea. Dion malah melengos masuk dan membantingkan diri di sofa. Diperhatikannya Dhea mempersiapkan tugas lanjutan kemarin. Kali ini Dion takkan bekerja sendiri. Dhea akan membantu. Awalnya Dion menolak namun Dhea tetap bersih keras. Dion dibuatnya tak mampu menolak.
Beberapa kali mereka terlihat serius mendiskusikan bahan tugas untuk pensi. Sepertinya mereka partner yang cocok. Terkadang diselingi canda dan tawa mereka. Dion mungkin tak seburuk yang orang katakan. Otak-nya juga cukup encer sebagai seorang trouble maker. Dhea akan banyak belajar dari Dion.
Benar saja. Rekor tercepat bagi mereka. Dalam dua jam tugas itu juga sudah tersusun rapi. Dokumen itu siap untuk dibahas besok. Dhea ingin melakukan high five, tapi Dion tak mau. Dhea menarik tangan Dion dan menempelkan telapak tangannya ke tangan Dion walaupun dengan sedikit paksaan. Hal yang tidak disukai Dhea saat Dhion kembali menekuk wajahnya seperti biasa.
“Udah selesai kan? Urusan kita juga sampe disini..”
“Iya sih udah selesai.. tingal satu urusan lagi..”
Dion menatap Dhea. Dhea mengerdipkan satu matanya pada Dion. Sebagai tanda terima kasih Dhea akan membantu Dion membereskan rumah. Dion tetap tak mau. Sedangkan Dhea tetap kekeuh. Dion malah duduk di sofa sambil mengangkat kaki. Dhea turun ke lapangan sendirian membersihkan rumah Dion. Diambilnya sapu dan kemoceng. Tampak satu jam Dhea masih terlihat bersemangat. Diam-diam Dion kembali tersenyum.
Saat Dhea membersihkan debu di atas lemari yang tinggi, tak sengaja kursi yang menumpu tubuhnya goyang. Dhea terjatuh, namun Dion datang di saat yang tepat. Dengan cekatan dia menangkap tubuh Dhea. Dhea masih memejamkan mata karena takut. Dhea mencoba membuka mata. Ia masih terpaku saat menyadari dirinya begitu dekat dengan Dion. Napas Dion-pun bisa  terdengar di telinganya.
“Eh, turun lo, berat nih gue..”
Dhea tersadar, ia cepat-cepat turun. Muka Dhea merah. Dhea-pun mengucapkan terima kasih pada Dion. Dhion masih menatap tak suka pada Dhea. Dhea mencubit pipi Dion dengan geram. Dion malah memarahi Dhea.
“Bisa ancur semua barang-barang dirumah gue kalo lo yang beresin..”
“Maaf deh Bos.”
Akhirnya Dion turun tangan sendiri membersihkan rumah. Dhea malah tersenyum senang. Kadang juga Dhea mengerjai Dion. Menggelitiki Dion dengan kemoceng agar Dion bisa tersenyum. Selama ini Dhea tak pernah melihat Dion tersenyum di depan matanya. Namun Dion tak juga tersenyum. Ia masih terlihat serius membersihkan rumah. Bahkan masih dengan raut muka seperti biasanya, raut muka tak suka. Dhea cemberut melihat taktiknya tak berhasil.
Dua jam berlalu. Rumah Dion tampak lebih cemerlang. Sebenarnya memang rumah Dion sudah cemerlang, hanya kurang rapi saja karena Dion tak mau membersihkannya. Dhea nampak puas. Dilihatnya Dion tersenyum untuk pertama kali. Dhea merasa sangat senang. Begitupulah dengan Dion.
“Kalo orangtua lo pulang, pasti mereka bakal terkejut ngeliat rumah mereka udah rapi kayak gini.”
Dhea sebenarnya bermaksud memuji Dion. Tapi sepertinya Dhea salah bicara. Dhion kembali menunjukkan wajah tak suka. Tapi ada yang lain di raut wajah Dion. Ekspresinya tak seperti biasa. Ia lebih muram. Bahkan air mukanya seperti menahan sebuah kesdihan.
“Mereka gak akan pulang.. gak akan pernah pulang..”
“Dion.. gue..”
“Gakpapa, memang gue patut dikasihani kok..”
“Bukan gitu.. gue.. gue yakin kalo lo mau berbagi cerita, beban lo mungkin berkurang..”
Dio lama tidak menjawab. Dhea dengan setia menunggu. Dia berharap Dion mengatakan sesuatu. Tapi Dion tak kunjung bicara. Dilihatnya Dion masih menatap langit-langit rumah dengan wajah mendung. Tubuhnya masih duduk disofa, tapi pikirannya mungkin sudah melayang jauh. Dhea malah duduk di lantai depan Dion, tangannya berpangku di atas meja. Lama sampai ia tertidur.
“Ya ampun, ini jam berapa?”
“Jam setengah tujuh.”
“Mati gue, gue ada janji makan malem sama Kak Bagas.”
“Bagas? Lo mau makan malem sama bajingan itu?
“Kok lo ngomongnya gitu sih?”
                Ekspresi Dion berubah drastis. Ia sepertinya marah besar. Apalagi saat Dhea menyebut nama Bagas. Dion kemudian mengemasi barang-barang di meja dan memasukannya dengan paksa ke dalam tas Dhea. Dilemparkannya tas itu kemudian dibukanya pintu rumah. Dia berteriak keras pada Dhea. Dhea hampir menangis. Dion menyuruh Dhea keluar. Dhea hanya menurut. Kemudian Dion membanting pintu dengan keras.
Dibalik pintu Dion terduduk dan menangis. Begitupula Dhea. Ia masih berada diluar pintu. Disentuhnya pintu itu. Dia merasakan ada kesedihan mendalam dari Dion. Tapi Dhea merasa bersalah karena justru memperburuk keadaan. Dhea sebenarnya ingin membantu tapi ia ingat janjinya pada Kak Bagas. Dhea tak bisa berbuat apa-apa.
“Dion, gue pulang ya.. makasih buat... dokumennya..”
Dhea tak melanjutkan kata-katanya. Ia menyeka air matanya kemudian pergi. Entah apa yang telah terjadi. Kenapa Dion begitu cepat berubah. Padahal baru sedetik ia menjadi orang yang sangat menyenangkan. Dhea tak mengerti akan sikap Dion. Benar-benar terlihat seperti monster saat Dion berteriak keras dan membanting pintu.
Dhea terus memikirkan Dion bahkan disaat dia sedang menikmati makan malam dengan Kak Bagas. Suasana candlelight dinner yang romantis sepertinya tak mampu membuat Dhea bergeming. Kak Bagas sejak satu jam lalu memang sudah memperhatikan Dhea yang kelihatan gusar, namun tak begitu dengan Dhea. Dhea bahkan hampir melupakan kalau Kak Bagas berada disitu.
“Lo gak suka ya sama dinner kita ini?”
“Apa? Gak kok.. Dhea suka kak, romantis banget..”
“Tapi mata lo bilang gak suka..”
“Emang mata bisa ngomong?”
“Lo itu ya..”
Kak Bagas mencubit pipi Dhea kemudian mengacak-acak rambutnya. Seketika pipi Dhea memerah. Seketika pula Dhea membandingkan perlakuan Kak Bagas dengan Dion. Dhea merasa nyaman dan diperlakukan istimewa saat bersama Kak Bagas. Berbeda dengan Dion. Saat bersama Dion, Dhea bahkan tak bisa memprediksi keadaan, kadang baik, kadang berubah drastis menjadi monster. Dhea menyesal telah menghancurkan malam ini dengan sikapnya pada Kak Bagas. Kak Bagas pasti kecewa.
“Yuk kita pulang, mungkin di dinner lain kali..”
“Maaf ya kak, dinnernya jadi kayak gini..”
Kak Bagas hanya tersenyum dan mengajak Dhea berdiri. Dinner sudah selesai, mungkin tak seperti yang Kak Bagas harapkan. Walaupun sebentar Dhea ingin membuat malam ini menjadi kembali seperti yang Kak Bagas inginkan. Entah apa yang ada dipikirannya, saat berjalan menuju pintu keluar Dhea memegang tangan Kak Bagas dengan lembut. Kak Bagas sempat berhenti dan menolah. Pipi Dhea memerah kembali. Dhea akan melepaskan genggamannya tapi Kak Bagas mencegah, tangan Dhea malah digenggamnya semakin erat.
“Gue suka sama lo Dhe..”
                Kata-kata Kak Bagas mengalir begitu saja seperti air. Bahkan Dhea tak mampu mencegah kemana air itu mengalir. Dhea tersenyum, begitu-pun Kak Bagas. Hari itu adalah hari yang penuh kejutan bagi Dhea. Saat dirinya gundah gulana karena Dion, disaat itu pula Kak Bagas datang dengan membawa semua sisi paling nyaman. Kak Bagas mengerti keadaan Dhea sekarang, ia tak meminta Dhea menjawab dengan cepat. Ia hanya ingin Dhea mengikuti kata hatinya. Dhea kembali tersenyum. Genggaman tangan Kak Bagas tak ingin dilepaskannya.
Sampai di tempat parkir sebuah kejutan datang kembali. Dion sudah menunggu tepat di samping mobil Kak Bagas. Menatap ke arah mereka berdua dengan pandangan marah. Dion mendekat ke arah mereka. Tiba-tiba satu pukulan keras mendarat di wajah Kak Bagas. Bahkan bertubi-tubi sampai wajah Kak Bagas mengeluarkan darah. Dhea ingin melerai tapi Kak Bagas malah membawa Dhea ke belakang tubuhnya. Sampai Kak Bagas tersungkur ke tanah.
Dhea sekuat tenaga meminta Dion berhenti. Dion malah menarik tangan Dhea hendak membawanya pergi tapi Dhea menolak. Dhea mencoba meminta penjelasan pada Dion. Dion tak memperdulikan Dhea dan terus menarik tangannya. Saat mereka terhenti, hanya terdengar cacian dan makian tentang Kak Bagas dari mulut Dion. Karena Dhea terus meronta akhirnya Dion melepaskan genggaman tangannya.
“Kalo lo mau pergi sama bajingan itu, pergi sana lo!!”
PLLAAKK. Satu tamparan keras mendarat di pipi Dion. Dhea tak berkata apa-pun. Hanya air mata menitik dipipinya. Begitu-pun Dion. Mereka saling diam tanpa berkata satu patah-pun. Tak ada yang dapat menjelaskan apa yang terjadi di antara mereka. Tapi satu hal ini yang membuat Dhea menyamakan pandangan dengan siswa-siswa di sekolah tentang Dion. Dhea berbalik berlari menuju Kak Bagas dan meninggalkan Dion sendiri dengan masih terdiam seribu bahasa.
Dion membuat Dhea tak bisa berhenti memikirkannya. Selama ini Dion yang ia kenal begitu menyenangkan. Tapi tindakannya belakangan ini membuat Dhea berpikir beda. Dhea memutuskan untuk mencari tahu. Alasan yang mendalangi semua perilaku Dion. Alasan yang mengganggu Dhea selama ini. Alasan yang juga ingin diketahuinya.
“Kayaknya memang gue perlu ngomong sama lo, orang yang udah buat Dion jadi kayak gini..”
Baru saja Dhea ingin membahasnya. Teman akrab Dion malah memulai pembicaraan itu dengan sedikit ragu, tapi Dhea terus memaksa. Tingkah Dion berubah drastis sejak pertama kali Dhea mengunjungi kelas mereka. Dion mulai punya harapan untuk berubah. Mungkin bukan berubah, lebih tepatnya kembali seperti dulu. Penuh keceriaan dan kebahagiaan. Entah mengapa kini harapan itu seolah hilang tak berbekas. Dion semakin menjadi-jadi. Bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Dion akan dikeluarkan dari sekolah karena kejadian semalam. Dan satu hal kuncinya, yaitu Dhea.
Dhea masih larut dalam keadaan Dion. Air tak berhenti mengalir dari matanya. Ternyata Dhea memang tak salah memandang Dion. Karena ia memandang dengan semua Dion, Dion yang apa adanya. Penyesalannya begitu mendalam ketika ia lebih memilih Bagas, orang yang begitu di agung-agungkannya yang ternyata sebagai penyebab semua ini.
Masih lekat di memori Dhea bagaimana ia mendengar dan melihat dengan mata kepalanya sendiri Bagas menghalalkan segala cara merebut semua milik Dion hanya karena rasa iri yang mendalam. Dion memiliki segalanya, harta, sahabat, dan perhatian semua orang. Dion cerdas, berwawasan, siswa yang cemerlang, siswa bintang di sekolah.
Bagaimana cara Bagas memanipulasi semua perhitungan suara pemilihan Ketos tahun lalu dan berhasil membuat Dion dibenci oleh semua siswa karena kesalahan yang tak pernah sama sekali dilakukannya. Bagaimana tindakan Bagas yang sudah keterlaluan membuat Dion kehilangan orang tua yang sangat disayanginya. Bagaimana Bagas membuat seolah-olah semua ini berjalan atas dasar kesalahan Dion sampai akhirnya Dion kehilangan segalanya.
Dan satu hal yang tak bisa diterima Dhea adalah Bagas merebut semua yang seharusnya dimiliki Dion bahkan tanpa seorang-pun tahu. Bagas selama ini telah menyembunyikan semua hal itu dari Dhea, dari semua, dengan sebuah topeng yang bagus. Tekat Dhea semakin kuat untuk memperbaiki keadaan sebagaimana mestinya. Sikap Bagas sudah keterlaluan. Satu gerbang yang akan membuka semua perlakuan Bagas, yaitu video bukti ini.
Konsekuensinya, Dhea harus memilih. Ia tak bisa menyelamatkan semua, Dion atau Bagas. Kalau video itu tersebar, Dion memang akan kembali diakui dan terbebas dari segala kesalahan yang tak pernah dilakukannya. Tapi tak begitu dengan Bagas, ia akan mendapat perlakuan yang sama dengan Dion saat ini, atau mungkin lebih parah. Dan keputusan telah diambil. Dhea akan meminta maaf pada Bagas, karena setelah video ini, ia akan membayar kesalahan yang sudah dilakukannya.
Saat pensi berlangsung adalah saat tepat untuk membongkar kejahatan yang dilakukan Bagas. Video akan diputar dilayar besar saat Bagas menyampaikan sambutan. Itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan Dion. Dhea memberitahu rencana itu pada Dion. Dion bahkan sama sekali tak memperdulikan Dhea. Dhea merasa semakin bersalah. Dhea mencoba terus mendekati Dion tapi tak begitu dengan Dion. Dion malah terus menghindari Dhea. Sampai Dhea berpapasan dengan Bagas.
“Lo liat Dhe, pensi besar ini karya lo.. berkat dokumen-dokumen yang lo buat.. lo yang punya pensi ini, gue bangga banget sama lo..”
Dhea tak berkata apa-pun. Dhea mendekati Bagas dan memeluknya dengan erat. Bagas tak mengerti kenapa Dhea melakukan itu. Tapi Bagas gembira, mungkin Dhea sudah membuka hati untuknya. Bagas-pun membalas rangkulan Dhea. Dhea tak sepaham dengan Bagas. Pelukan itu adalah sebuah permohonan maaf  atas kejadian yang akan dialami Bagas nanti.
“Dhea minta maaf kak.. Dhea minta maaf..”
Bagas tak mengerti arti ucapan Dhea. Bagas ingin bertanya, tapi Dhea segera berlalu pergi meninggalkan Bagas. Bagas hendak mengejarnya tapi pengarah acara pensi menahannya. Sebagai Ketua OSIS ia harus segera bersiap-siap untuk menyampaikan sambutan di atas panggung. Bagas hanya menurut.
Dhea menunggu dengan cemas bagaimana Bagas akan merasa sangat dipermalukan atas video itu. Tapi Dhea harus tetap pada pendiriannya, itulah yang harus diterima Bagas karena semua tindakannya. Dilihatnya Bagas menaiki tangga panggung dan tepat saat ia mengucapkan sepatah kata, video itu diputar. Dhea menahan napas. Ia begitu terkejut ketika melihat video itu bukan video bukti-bukti kesalahan Bagas. Itu bukan video yang ada dalam rencana Dhea.
Padahal sebelum memberikan video itu pada operator, Dhea sudah memastikan bahwa itu adalah video yang benar. Sesaat ia melihat Dion berada di belakang panggung. Ia yakin pasti Dion yang mengganti video itu. Dhea tak habis pikir apa yang dilakukan Dion. Dengan begitu, Dion akan selamanya terjebak dalam kesalahan yang tak pernah dilakukannya. Dhea berlari menuju ke arah Dion dengan beribu pertanyaan.
“Lo kenapa sih.. tinggal dikit lagi semua kembali pada tempat seharusnya, lo akan dapetin kembali hak lo Dion.. gue gak ngerti sama lo.. dan lo..”
CUUPP. Satu kecupan tepat dibibir Dhea membuat Dhea kehabisan kata-kata. Dhea nampak canggung setelah Dion mengecup bibirnya. Dion malah tersenyum dan menggenggam lembut kedua tangan Dhea. Dhea masih tak percaya apa yang barusan terjadi.
“Gue gak perduli kalo Bagas ngambil semuanya dari gue, hidup gue, atau hak gue.. yang penting gue punya lo, yang mau ngerti gue, yang mau berusaha buat gue.. permata berharga gue..”
Dhea masih tak bergeming. Dion menatapnya dalam tepat di pelupuk mata. Entah apa yang akan dipikirkan oleh orang sekarang. Dhea hanya tak ingin saat seperti ini cepat berakhir. Dion mendekapnya ke dalam pelukan hangat. Dhea memejamkan matanya tepat di dada Dion. Dhea merasa aman dan tak pernah senyaman itu sebelumnya.
“Gue sayang sama lo Dhe.. gue gak mau lo pergi kayak yang lain..”
“Gue gak akan pernah pergi.. gue disini.. disini sama lo.. gue janji..”

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar