Check this !!

Kamis, 06 Juni 2013

THE COMMAND OF LOVE


“Kemana aja lo?”
“Maaf kak, saya telat, jalannya macet.”
“Alah, alesan aja, baru hari pertama ospek aja lo udah berani telat, gimana nanti pas udah masuk, malu-maluin tau gak.”
“Iya kak, saya minta maaf.”
“Masuk sana!”
            Nina Aquina. Calon mahasiswa College Art of Jakarta jurusan desain properti. Remaja yang hobi telat. Bahkan untuk hari penting seperti ospek pertamanya-pun ia telat. Wajar aja kalo dia bakal ketemu banyak senior dengan mata melotot dan tangan berkacak pinggang. Syukur-syukur kalo sampe gak diomelin kayak tadi.
            Langkahnya agak ragu memasuki aula kongres universitas sekaligus sebagai tempat pembukaan ospek pertamanya. Dilihatnya ratusan calon mahasiswa seperti dirinya telah duduk rapi bersila di lantai, mengenakan topi koran, baju karung, dan alas kaki dari kantong plastik. Tak berbeda jauh dengan penampilannya saat ini. Tiba-tiba menggelegar bak petir terdengar melalui pengeras suara.
“Selamat datang tuan putri, kasih tepuk tangan yang meriah dong semua.”
            Ulah seniornya lagi. Nina tertunduk tak berani melihat. Diikuti sorak-sorai tepuk tangan calon teman-temannya nanti. Ratusan pasang mata melihat ke arahnya. Dilihatnya para senior dengan jaket almamater sudah berjajar rapi di depan. Ada yang menatap Nina dengan pandangan marah, mengejek, kasihan, dan tunggu, ada salah satu yang dikenalnya.
            Orang itu berjalan mendekati Nina. Kakak senior laki-laki dengan tangan jaket almamater yang digulung sampai setengah lengan. Samar-samar dipandangnya wajah senior itu. Tapi ia tak berani melihat. Bisa-bisa ia kena apes. Atau parahnya bisa dikerjain habis-habisan. Senior itu berhenti tepat di depan Nina. Meletakkan tangannya depan dada.
“Anak jurusan mana lo?”
“Sss saya.. saya jurusan desain properti kak.”
“Bagus! Punya mainan baru gue.. Lo ikut gue!”
            Nina tau itu bukan pertanda yang baik. Tapi ia mencoba tenang. Toh, ospek ini tidak akan membunuhnya. Kakinya berjalan mengikuti seniornya itu. Pandangannya tak fokus karena melihat ke sekeliling. Orang-orang masih menatapnya dengan pandangan aneh. Ia tak menyadari senior yang ia ikuti sudah berhenti. BBUUKK, Nina menabrak punggung tubuh kakak seniornya itu. Nina refleks menjerit.
“Aww..”
“Lo itu ya.. kalo jalan pakek mata, dasar anak baru, cepetan minta maaf..”
“Maaf kak..”
“Kakak siapa?”
“Ya kakak..”
“Nama gue?”
            Nina menggeleng. Dia sama sekali tidak tahu siapa nama orang itu. Walaupun wajahnya sudah tidak asing lagi. Ia yakin orang itu pernah jadi kakak kelas-nya dulu waktu di sekolah. Hanya saja Nina tak terlalu mengenalnya. Nina hanya menatap kakak seniornya itu dengan pandangan aneh. Nina merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tapi Nina tidak mengerti apa itu.
“Jadi lo gak tau nama gue? Oh iya, gue lupa, lo kan telat.. gue kasih waktu satu menit buat nyari tahu nama gue, mulai dari sekarang!”
“Hah, cuma satu menit?”
“Lima delapan, lima tujuh, lima enam...”
            Nina langsung berlari mencari senior yang berwajah baik hati. Dia yakin gak semua senior itu kejam. Dan akhirnya pencariannya terkabul. Senior yang kelihatan baik hati itu memberitahukan sebuah nama yang cukup panjang. Nina berusaha sekuat mungkin untuk mengingat nama itu.
“Selesai. Sini lo.. buruan.”
“Iya kak..”
“Siapa nama gue?”
“Nama kakak Noe Kesuma Yudhistira Sastro...”
“Sastro apa?”
“Noe Kesuma Yudhistira Sastro.. Sastrowardhoyo..”
            Diikuti senior lain yang tertawa terbahak-bahak. Nina seperti menjadi bahan lelucon di aula itu. Nina malah menggaruk-garuk kepalanya. Ia tak mengerti apa yang terjadi. Ia pasti melakukan kesalahan lagi.
“Eh, Noe, sejak kapan lo jadi adiknya Dian Sastro?? Geli gue..”
            Salah seorang senior satunya menimpali. Nina mencoba membuat wajah innocene. Senior itu menatapnya dengan mata melotot. Seolah-olah akan memakan Nina. Nina merapatkan telapak tangannya di depan dada. Ia meminta maaf. Senior itu seolah tak mau peduli.
“Lo ingetin nama gue baik-baik ya, NOE KESUMA YUDHISTIRA SASTROEAMINDIHARDJA, inget, SASTROEAMINDIHARDJA. Sekarang lo keluar, berdiri di depan tiang bendera, lo hormatin tuh bendera sampe makan siang..”
“Tapi kak..”
“Gak ada tapi-tapian.. gue mau SEKARANG!!”
            Tentu masih segar lekat di ingatan Nina itu. Kakak senior yang barusan lewat tadi adalah senior yang sama saat ospek pertama Nina dua bulan lalu. Nina berusaha melemparkan senyum padanya. Jangankan untuk menyapa, senyum Nina pun sama sekali tak digubrisnya. Padahal ospek itu kan sudah lewat dua bulan yang lalu. Sangat gak rasional kalo senior itu masih marah kepada Nina hanya gara-gara salah nyebut nama.
            Tapi yang Nina masih kurang mengerti, rasa yang aneh saat pertama kali Nina bertemu dengan Kak Noe tidak pernah berubah sampai sekarang. Nina sendiri belum bisa memastikan rasa apa itu. Bagaimana Nina bisa merasakan itu pada orang yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Sudahlah, Nina tidak mau ambil pusing.
            Nina meneruskan langkahnya setelah berpapasan dengan Kak Noe. Ia ingat janjinya dengan Keny (sahabat barunya) untuk pulang bareng. Tapi batang hidung Keny tak kunjung kelihatan. Nina menelpon Keny. Tapi tak kunjung diangkat. Mungkin Keny sudah menunggu di depan gerbang. Nina buru-buru memasukkan handphone-nya ke dalam tas.
            Nina tersentak kaget melihat beberapa orang sedang bersantai-santai di depan pandangannya. Sebelumnya Nina tak menyadari kalau mereka sudah lama duduk di situ. Namun Nina merasa tidak enak hati untuk melewatinya. Nina masih tergolong mahasiswa baru di universitas itu. Rasanya sangat tidak sopan menerobos jalan yang ditempati oleh senior-seniornya yang lebih tua.
            Nina ragu melewati koridor itu. Dilihatnya senior-senior laki-laki sedang menghisap rokok berdiri memenuhi bangku teras. Jalan satu-satunya yang harus dilewati Nina untuk keluar dari kompleks universitas. Akhirnya Nina menelan ludah dan memberanikan diri melewati koridor itu.
            Nina berjalan perlahan, takut kalau sampai senior-senior itu terganggu dengan kedatangan Nina. Nina sedikit merendahkan tubuh saat salah seorang senior menatapnya. Nina hanya balas tersenyum. Tiba-tiba sesorang telah berdiri di depannya. Menghalangi jalannya. Nina hanya memegangi tasnya dengan erat.
“Mau kemana Manis?”
“Saya mau pulang kak, permisi kak, maaf ganggu..”
“Eiit, gak ganggu kok.. kita main dulu yuk, pulangnya nanti aja, nanti kakak anter..”
“Gak kak, gak usah, makasih, permisi..”
“Ayolah..”
            Senior itu menarik tangan Nina. Nina mencoba  melepaskan genggaman tangan itu dengan sekuat tenaga. Tapi sia-sia. Tenaga Nina tak sebanding. Ia mencoba meminta tolong, namun tak ada satupun orang yang terlihat. Senior-senior itu malah tertawa. Nina terus meronta. Mencoba melepaskan cengkraman tangan yang semakin kuat. Senior-senior yang lain malah terus menggodanya. Memegang rambutnya dan dagunya. Membuat Nina semakin takut.
            Tiba-tiba sesorang datang dari arah belakang memukul wajah senior yang tadinya memegang tangan Nina. Diikuti dengan serangan bertubi-tubi ke sekawanan senior jahat itu. Nina tak berani melihat. Orang itu malah membawa Nina ke belakang tubuhnya. Perkelahian terjadi. Sampai Nina melihat sekawanan senior jahat itu terbaring di lantai koridor sembari memegangi tubuh mereka yang sakit.
“Dasar bejat! Lo mau bikin malu kampus? Awas kalo lo berani macem-macem, lo berurusan sama gue..”
            Orang itu berjalan meninggalkan Nina dan senior-senior itu. Nina baru menyadari kalau orang yang menolongnya adalah Kak Noe. Kakak senior ospeknya. Ketua BEM jurusan desain properti. Nina mencoba mengejar dan memanggil Noe. Nina mengikuti Noe sampai ke tempat parkir motor. Nina terus memanggil-manggil nama Noe. Tapi Noe tak kunjung menoleh. Bahkan Noe tidak memperdulikan Nina. Nina tak mau menyerah. Dia harus berterima kasih kepada Noe yang telah menyelamatkannya dari senior-senior yang mencoba mengganggunya. Dia bahkan mengahalangi jalan motor Noe.
“Apaan sih? Ngapain lo ngalangin jalan motor gue.. Minggir.”
“Makasih ya tadi udah bantuin..”
“Gak usah kepede-an lo. Gue gak pernah bantu lo. Gue memang gak suka sama tuh orang.”
“Ya walaupun gitu, kan tetep aja harus berterima kasih..”
“Kenapa? Lo pikir gue malaikat yang sengaja dikirim buat bantuin lo.. ckck kebanyakan nonton Disney sih lo. Pulang sana.”
            Noe bertolak dengan motor keren bawaannya. Meninggalkan Nina di tempat parkir tanpa menoleh sedikit-pun. Meninggalkan Nina dengan pipi cemberut. Nina masih menatap lurus kepergian Noe. Bahkan ia tak menyadari Keny menghampirinya. Diikuti pula tatapan mata Nina. Mengarah ke Kak Noe, kakak senior yang paling populer di kampus.
            Dilihatnya Nina dengan tatapan aneh. Dilambai-lambaikan tangannya di depan mata Nina. Namun Nina tak kunjung menoleh. Keny menepuk pundak Nina. Barulah Nina tersadar dari lamunannya. Nina tersenyum pada Keny. Keny malah menatapnya sinis.
“Jangan bilang kalo lo suka sama Kak Noe..”
“Gue?? Apaan lagi.. udah yuk kita pulang.”
            Nina menyeret tangan Keny arah gerbang keluar. Menyembunyikan pipi yang merah karena pertanyaan Keny tadi. Entah apa yang ia rasakan sampai sedemikian. Keny hanya geleng-geleng kepala.
            Sampai di rumah-pun Nina tidak bisa berhenti memikirkan Noe. Nina  juga senyum-senyum sendiri bahkan didepan tumpukan tugas yang ada di atas mejanya. Kini Nina mulai mengerti perasaan apa yang ada di dalam hatinya. Nina menyukai Noe. Bahkan mulai dari pandangan pertama saat mereka bertemu. Tak lama, tangannya menyenggol sesuatu. PRRAAKK, sebuah foto jatuh ke lantai. Nina terkejut, dipungutnya figura foto itu. Flasback ke masa lalu saat Nina bersama Bimo, orang yang ada di foto itu.
            Bimo terbaring koma dirumah sakit. Dengan berlinang air mata, Nina metapanya dari balik jendela kaca. Tak ada lagi tawa Bimo sejak dua bulan lalu ia kesakitan di atas ranjang itu. Tak ada lagi canda guraunya mengejek Nina, orang yang sangat berharga baginya. Nina masih ingat bagaimana Bimo membelai halus rambutnya saat Nina sedih. Dan bergembira bersama saat Nina sedang bahagia.
            Tiba-tiba dokter datang dan menghampiri membawa kabar baik. Bimo sudah sadar dari koma panjangnya. Nina langsung menghampiri kamar Bimo. Dilihatnya Bimo tersenyum. Nina menahan haru. Bimo meminta Nina mendekat. Bimo menggenggam tangan Nina. Menyelipkan suatu benda ke telapak tangannya. Bahkan tanpa berkata apa-pun. Nina tersenyum pada Bimo. Seketika Bimo menutup mata-nya. Nina mulai panik dan meminta pertolongan. Sampai genggaman tangan Bimo terlepas Nina hanya terdiam. Dilihatnya dokter menggelengkan kepala. Tangis Nina terpecah, mendekap Bimo dalam pelukannya. Pelukan terakhir untuknya.
            Nina kembali memegangi liontin dari Bimo saat menatap figura foto itu. Air mata tanpa sadar jatuh di pipinya. Nina teringat bagaimana ia berjanji kepada Bimo untuk selalu menjaga cinta mereka, sampai maut memisahkan. Hanya satu kasih, Nina dan Bimo.
            Nina teringat Noe kembali. Perasaan ini tak boleh terus berlanjut. Ia tak mau mengkhianati janjinya bersama Bimo. Semalaman Nina terus diliputi perasaan bersalah. Ia terlihat sangat gelisah. Ia bahkan tak berani menatap foto Bimo. Ia tak mau hal ini terus terjadi.
            Nina mencari-cari dimana keberadaan Noe. Ia ingin mengakhiri semua perasaannya pada Noe. Dilihatnya Noe sedang berjalan di taman kampus. Ia berlari mendekati Noe. Noe sadar Nina berjalan menuju ke arahnya. Noe malah mempercepat langkah kakinya. Panggilan dari Nina seolah tak diperdulikannya. Sampai Nina berhasil menghentikannya.
“Mau ngapain lagi lo?”
“Gue mau ngomong penting..”
“Apaan sih, udah ah gue males ngomong sama lo.”
“Please, ini penting banget..”
“Lo tau kan kalo gue gak suka diganggu..”
“Oke, gue gak akan ganggu lo.. ini yang terakhir, gue janji.”
“Cepetan, gue gak punya banyak waktu..”
            Nina menghela napas panjang. Ditatapnya Noe lekat-lekat. Bibirnya mulai membuka. Walaupun ia tahu, ini semua akan berat. Tapi ia sudah terlanjur menyukai Noe. Ia harus bisa meluruskan semua yang terjadi. Ia tak ingin terjebak dalam situasi seperti ini. Ketika harus memilih antara Noe dan Bimo, yang telah tiada. Namun, Nina tak ingin melanggar janjinya kepada Bimo. Janji cinta setianya.
“Gue.. Gue suka sama lo”
            Noe terdiam saat Nina mengungkapkan isi hatinya. Sedangkan Nina berusaha sekuat hati untuk tidak kelihatan lemah di depan Noe. Ia tak ingin Noe mengasihaninya. Ia mencoba tegar dan melanjutkan perkataannya itu walau dengan berat hati.
“Gue tahu gue gak sadar diri, gue tahu gue salah karena punya rasa suka sama lo, makanya gue mau ngelurusin satu hal. Lo liat kan liontin gue?”
            Noe tak bergeming. Nina tak perduli hal itu. Yang penting ia sudah memberitahukan isi hatinya. Tinggal terserah pada Noe. Walaupun sebenarnya Nina tak ingin kondisi ini terjadi diantara mereka. Nina tak punya banyak pilihan.
“Ini dari Bimo, orang yang paling gue sayang. Yang meninggal satu tahun lalu karena kanker otak stadium akhir. Dengan mata kepala gue ngeliat dia kesakitan di atas bed rumah sakit, koma, sampai maut menjemputnya. Orang yang ngasih liontin ini di saat-saat terkahirnya..”
            Mata Noe mulai berkaca-kaca. Mulutnya masih diam membisu. Tak berbeda jauh dengan Nina. Mencoba tetap berdiri di garis tegar. Matanya sudah memerah. Menahan bendungan air mata yang tak tertahan lagi untuk jatuh menggelimang.
“Gue udah buat janji sama dia, akan sehidup semati.. satu cinta.. cinta gue buat dia gak akan pernah pupus. Dan.. gue gak mau ngelanggar janji itu.. jadi..”
            Nina menyeka air matanya. Menarik napasnya dalam-dalam. Mencoba melukis sebuah senyum di bibirnya. Tangan kanannya terulur ke arah Noe. Noe yang tertunduk kini mencoba mengangkat dagu. Ia mencoba menerka-nerka apa yang selanjutnya akan dilakukan oleh Nina.
“Jadi gue minta lo lupain aja ini, kita ulang dari awal, kita temenan, gimana?. Hai, gue Nina..”
“Cuma kayak gini akhirnya??”
            Noe langsung menyela permintaan pertemanan dari Nina. Nina semakin tidak mengerti apa maksud Noe. Mata Nina lurus bertemu pandang dengan mata Noe. Nina menurunkan tangannya. Noe mulai mendekat. Sepertinya Noe ingin mengatakan sesuatu pada Nina.
“Coba lo buka liontin lo..”
            Nina semakin tak mengerti apa yang dikatakan Noe. Dipegangnya liontin pemberian Bimo. Dilihatnya kembali. Benar. Ada segel disitu. Bagaimana mungkin Noe bisa tahu segel itu. Padahal Nina saja sebagai pemiliknya satu tahun ini bahkan tak pernah menyadari ada segel di kalung liontin itu. Dan Noe menyadarkan Nina dari lamunannya. Ia kembali meminta Nina membuka segel liontin itu.
“Sekarang gue minta lo buka liontin lo..”
            Nina bergeming, melepaskan liontinnya. Liontin terkhir pemberian Bimo. Di lihatnya wajah Noe. Tatapan mata Noe meyakinkan Nina untuk membuka liontin itu. Dengan gemetar Nina memberanikan diri. Jarinya membuka segel liontin walau dengan sedikit gemetar. Liontin dengan sejuta kenangan yang tertutup rapat, kini karena Noe, Nina akan membuka pintu memorinya.
“N.K.Y.S.. ?”
“N.K.Y.S., Noe Kesuma Yudhistira Sastroeamindihardja, itu gue, itu liontin dari gue..”
“Apa maksudnya ini?”
“Lo gak salah, lo gak salah kalo lo suka sama gue, berhenti nyalahin diri lo sendiri, karena..”
“Karena apa?”
“Karena Bimo udah nitipin lo sama gue, bahkan jauh sebelum Bimo koma dirumah sakit. Gue tahu gue gak pantes buat semua ini, lo cuma dititipin sama gue. Tapi gue yakin Bimo punya maksud lain karena nitipin lo ke gue.”
            Nina masih tampak syok. Air mata jatuh tak tertahan di pipinya. Mendengar Noe menyebut Bimo sebagai sahabat sejatinya, sahabat sehidup sematinya. Mendengar pengakuan Noe yang mengejutkan. Noe sudah lama menyukai Nina. Bahkan jauh sebelum ada Bimo di hatinya. Noe sadar kalau hanya ada satu orang yang berhak atas hati Nina. Dan Nina telah memilih Bimo. Noe bahkan merelakan Nina, asalkan Nina bahagia. Asalkan sahabatnya, Bimo, bahagia. Dan Bimo sudah menduga jika umurnya tak mungkin bertahan lama. Dia meminta Noe menjaga Nina saat dirinya sudah tidak ada nanti. Dan Noe dengan berat hati menerima permintaan terakhir sahabatnya.
Liontin itu masih digenggam erat Nina. Noe mendekatinya. Menengadahkan tangan dan merangkul Nina. Membawanya dalam dekapan erat. Tangis Nina tertumpah tepat di dada Noe. Noe memejamkan mata. Meminta izin Bimo untuk menjaga Nina. Dilihatnya bayangan Bimo di depan. Melipat tangan di depan dadanya sembari mengangguk dan tersenyum.
“Mulai sekarang, gue yang akan jaga lo, dan lo tetep boleh kok nyimpen Bimo di dalam relung hati lo.”
            Nina mengangguk. Masih dalam dekapan Noe. Dibalasnya pula rangkulan tangan Noe. Noe tersenyum. Nina berterima kasih pada Noe karena mau mencoba memahami dirinya. Menutup kenangan bersama Bimo bukanlah hal yang mudah. Tapi Nina akan berusaha sekuat tenaga, bersama Noe. Sesuai permintaan Bimo. Dilihatnya Noe tersenyum. Menarik pipi Nina sampai pada pose ‘smile’.
“Eh, inget ya gue masih senior lo. Kalo gue bilang gue suka sama lo, lo harus jawab kalo lo juga suka sama gue. Ngerti kan?... GUE SUKA SAMA LO.”
            Nina terkesima. Tatapan Noe kali ini lekat dipelupuk matanya. Tangannya hangat digenggam Noe dengan penuh kasih sayang. Nina seolah menangkap pesan dari sinar mata Noe. Orang yang akan menjaga dirinya kelak, menggantikan Bimo. Hampir jatuh lagi air mata Nina. Tangan besar Noe menyekanya tepat di pipi. Nina tersenyum.
“Iya kak, gue juga suka sama lo.”

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar