“Kemana
aja lo?”
“Maaf
kak, saya telat, jalannya macet.”
“Alah,
alesan aja, baru hari pertama ospek aja lo udah berani telat, gimana nanti pas
udah masuk, malu-maluin tau gak.”
“Iya
kak, saya minta maaf.”
“Masuk
sana!”
Nina Aquina. Calon mahasiswa College
Art of Jakarta jurusan desain properti. Remaja yang hobi telat. Bahkan untuk
hari penting seperti ospek pertamanya-pun ia telat. Wajar aja kalo dia bakal ketemu
banyak senior dengan mata melotot dan tangan berkacak pinggang. Syukur-syukur
kalo sampe gak diomelin kayak tadi.
Langkahnya agak ragu memasuki aula
kongres universitas sekaligus sebagai tempat pembukaan ospek pertamanya.
Dilihatnya ratusan calon mahasiswa seperti dirinya telah duduk rapi bersila di
lantai, mengenakan topi koran, baju karung, dan alas kaki dari kantong plastik.
Tak berbeda jauh dengan penampilannya saat ini. Tiba-tiba menggelegar bak petir
terdengar melalui pengeras suara.
“Selamat
datang tuan putri, kasih tepuk tangan yang meriah dong semua.”
Ulah seniornya lagi. Nina tertunduk
tak berani melihat. Diikuti sorak-sorai tepuk tangan calon teman-temannya
nanti. Ratusan pasang mata melihat ke arahnya. Dilihatnya para senior dengan
jaket almamater sudah berjajar rapi di depan. Ada yang menatap Nina dengan
pandangan marah, mengejek, kasihan, dan tunggu, ada salah satu yang dikenalnya.
Orang itu berjalan mendekati Nina.
Kakak senior laki-laki dengan tangan jaket almamater yang digulung sampai
setengah lengan. Samar-samar dipandangnya wajah senior itu. Tapi ia tak berani
melihat. Bisa-bisa ia kena apes. Atau parahnya bisa dikerjain habis-habisan.
Senior itu berhenti tepat di depan Nina. Meletakkan tangannya depan dada.
“Anak
jurusan mana lo?”
“Sss
saya.. saya jurusan desain properti kak.”
“Bagus!
Punya mainan baru gue.. Lo ikut gue!”
Nina tau itu bukan pertanda yang
baik. Tapi ia mencoba tenang. Toh, ospek ini tidak akan membunuhnya. Kakinya
berjalan mengikuti seniornya itu. Pandangannya tak fokus karena melihat ke
sekeliling. Orang-orang masih menatapnya dengan pandangan aneh. Ia tak
menyadari senior yang ia ikuti sudah berhenti. BBUUKK, Nina menabrak punggung tubuh
kakak seniornya itu. Nina refleks menjerit.
“Aww..”
“Lo
itu ya.. kalo jalan pakek mata, dasar anak baru, cepetan minta maaf..”
“Maaf
kak..”
“Kakak
siapa?”
“Ya
kakak..”
“Nama
gue?”
Nina menggeleng. Dia sama sekali
tidak tahu siapa nama orang itu. Walaupun wajahnya sudah tidak asing lagi. Ia
yakin orang itu pernah jadi kakak kelas-nya dulu waktu di sekolah. Hanya saja
Nina tak terlalu mengenalnya. Nina hanya menatap kakak seniornya itu dengan
pandangan aneh. Nina merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tapi Nina tidak
mengerti apa itu.
“Jadi
lo gak tau nama gue? Oh iya, gue lupa, lo kan telat.. gue kasih waktu satu
menit buat nyari tahu nama gue, mulai dari sekarang!”
“Hah,
cuma satu menit?”
“Lima
delapan, lima tujuh, lima enam...”
Nina langsung berlari mencari senior
yang berwajah baik hati. Dia yakin gak semua senior itu kejam. Dan akhirnya
pencariannya terkabul. Senior yang kelihatan baik hati itu memberitahukan
sebuah nama yang cukup panjang. Nina berusaha sekuat mungkin untuk mengingat
nama itu.
“Selesai.
Sini lo.. buruan.”
“Iya
kak..”
“Siapa
nama gue?”
“Nama
kakak Noe Kesuma Yudhistira Sastro...”
“Sastro
apa?”
“Noe
Kesuma Yudhistira Sastro.. Sastrowardhoyo..”
Diikuti senior lain yang tertawa
terbahak-bahak. Nina seperti menjadi bahan lelucon di aula itu. Nina malah
menggaruk-garuk kepalanya. Ia tak mengerti apa yang terjadi. Ia pasti melakukan
kesalahan lagi.
“Eh,
Noe, sejak kapan lo jadi adiknya Dian Sastro?? Geli gue..”
Salah seorang senior satunya
menimpali. Nina mencoba membuat wajah innocene. Senior itu menatapnya dengan mata melotot.
Seolah-olah akan memakan Nina. Nina merapatkan telapak tangannya di depan dada.
Ia meminta maaf. Senior itu seolah tak mau peduli.
“Lo
ingetin nama gue baik-baik ya, NOE KESUMA YUDHISTIRA SASTROEAMINDIHARDJA, inget,
SASTROEAMINDIHARDJA. Sekarang lo keluar, berdiri di depan tiang bendera, lo
hormatin tuh bendera sampe makan siang..”
“Tapi
kak..”
“Gak
ada tapi-tapian.. gue mau SEKARANG!!”
Tentu masih segar lekat di ingatan
Nina itu. Kakak senior yang barusan lewat tadi adalah senior yang sama saat
ospek pertama Nina dua bulan lalu. Nina berusaha melemparkan senyum padanya.
Jangankan untuk menyapa, senyum Nina pun sama sekali tak digubrisnya. Padahal
ospek itu kan sudah lewat dua bulan yang lalu. Sangat gak rasional kalo senior
itu masih marah kepada Nina hanya gara-gara salah nyebut nama.
Tapi yang Nina masih kurang
mengerti, rasa yang aneh saat pertama kali Nina bertemu dengan Kak Noe tidak
pernah berubah sampai sekarang. Nina sendiri belum bisa memastikan rasa apa
itu. Bagaimana Nina bisa merasakan itu pada orang yang sama sekali belum pernah
dikenalnya. Sudahlah, Nina tidak mau ambil pusing.
Nina meneruskan langkahnya setelah
berpapasan dengan Kak Noe. Ia ingat janjinya dengan Keny (sahabat barunya)
untuk pulang bareng. Tapi batang hidung Keny tak kunjung kelihatan. Nina
menelpon Keny. Tapi tak kunjung diangkat. Mungkin Keny sudah menunggu di depan
gerbang. Nina buru-buru memasukkan handphone-nya ke dalam tas.
Nina tersentak kaget melihat
beberapa orang sedang bersantai-santai di depan pandangannya. Sebelumnya Nina
tak menyadari kalau mereka sudah lama duduk di situ. Namun Nina merasa tidak
enak hati untuk melewatinya. Nina masih tergolong mahasiswa baru di universitas
itu. Rasanya sangat tidak sopan menerobos jalan yang ditempati oleh
senior-seniornya yang lebih tua.
Nina ragu melewati koridor itu.
Dilihatnya senior-senior laki-laki sedang menghisap rokok berdiri memenuhi
bangku teras. Jalan satu-satunya yang harus dilewati Nina untuk keluar dari
kompleks universitas. Akhirnya Nina menelan ludah dan memberanikan diri
melewati koridor itu.
Nina berjalan perlahan, takut kalau
sampai senior-senior itu terganggu dengan kedatangan Nina. Nina sedikit
merendahkan tubuh saat salah seorang senior menatapnya. Nina hanya balas
tersenyum. Tiba-tiba sesorang telah berdiri di depannya. Menghalangi jalannya.
Nina hanya memegangi tasnya dengan erat.
“Mau
kemana Manis?”
“Saya
mau pulang kak, permisi kak, maaf ganggu..”
“Eiit,
gak ganggu kok.. kita main dulu yuk, pulangnya nanti aja, nanti kakak anter..”
“Gak
kak, gak usah, makasih, permisi..”
“Ayolah..”
Senior itu menarik tangan Nina. Nina
mencoba melepaskan genggaman tangan itu
dengan sekuat tenaga. Tapi sia-sia. Tenaga Nina tak sebanding. Ia mencoba
meminta tolong, namun tak ada satupun orang yang terlihat. Senior-senior itu
malah tertawa. Nina terus meronta. Mencoba melepaskan cengkraman tangan yang
semakin kuat. Senior-senior yang lain malah terus menggodanya. Memegang
rambutnya dan dagunya. Membuat Nina semakin takut.
Tiba-tiba sesorang datang dari arah
belakang memukul wajah senior yang tadinya memegang tangan Nina. Diikuti dengan
serangan bertubi-tubi ke sekawanan senior jahat itu. Nina tak berani melihat.
Orang itu malah membawa Nina ke belakang tubuhnya. Perkelahian terjadi. Sampai
Nina melihat sekawanan senior jahat itu terbaring di lantai koridor sembari
memegangi tubuh mereka yang sakit.
“Dasar
bejat! Lo mau bikin malu kampus? Awas kalo lo berani macem-macem, lo berurusan
sama gue..”
Orang itu berjalan meninggalkan Nina
dan senior-senior itu. Nina baru menyadari kalau orang yang menolongnya adalah
Kak Noe. Kakak senior ospeknya. Ketua BEM jurusan desain properti. Nina mencoba
mengejar dan memanggil Noe. Nina mengikuti Noe sampai ke tempat parkir motor.
Nina terus memanggil-manggil nama Noe. Tapi Noe tak kunjung menoleh. Bahkan Noe
tidak memperdulikan Nina. Nina tak mau menyerah. Dia harus berterima kasih
kepada Noe yang telah menyelamatkannya dari senior-senior yang mencoba
mengganggunya. Dia bahkan mengahalangi jalan motor Noe.
“Apaan
sih? Ngapain lo ngalangin jalan motor gue.. Minggir.”
“Makasih
ya tadi udah bantuin..”
“Gak
usah kepede-an lo. Gue gak pernah bantu lo. Gue memang gak suka sama tuh
orang.”
“Ya
walaupun gitu, kan tetep aja harus berterima kasih..”
“Kenapa?
Lo pikir gue malaikat yang sengaja dikirim buat bantuin lo.. ckck kebanyakan
nonton Disney sih lo. Pulang sana.”
Noe bertolak dengan motor keren
bawaannya. Meninggalkan Nina di tempat parkir tanpa menoleh sedikit-pun. Meninggalkan
Nina dengan pipi cemberut. Nina masih menatap lurus kepergian Noe. Bahkan ia
tak menyadari Keny menghampirinya. Diikuti pula tatapan mata Nina. Mengarah ke
Kak Noe, kakak senior yang paling populer di kampus.
Dilihatnya Nina dengan tatapan aneh.
Dilambai-lambaikan tangannya di depan mata Nina. Namun Nina tak kunjung
menoleh. Keny menepuk pundak Nina. Barulah Nina tersadar dari lamunannya. Nina
tersenyum pada Keny. Keny malah menatapnya sinis.
“Jangan
bilang kalo lo suka sama Kak Noe..”
“Gue??
Apaan lagi.. udah yuk kita pulang.”
Nina menyeret tangan Keny arah
gerbang keluar. Menyembunyikan pipi yang merah karena pertanyaan Keny tadi.
Entah apa yang ia rasakan sampai sedemikian. Keny hanya geleng-geleng kepala.
Sampai di rumah-pun Nina tidak bisa
berhenti memikirkan Noe. Nina juga
senyum-senyum sendiri bahkan didepan tumpukan tugas yang ada di atas mejanya. Kini
Nina mulai mengerti perasaan apa yang ada di dalam hatinya. Nina menyukai Noe.
Bahkan mulai dari pandangan pertama saat mereka bertemu. Tak lama, tangannya
menyenggol sesuatu. PRRAAKK, sebuah foto jatuh ke lantai. Nina terkejut,
dipungutnya figura foto itu. Flasback ke masa lalu saat Nina bersama Bimo,
orang yang ada di foto itu.
Bimo terbaring koma dirumah sakit.
Dengan berlinang air mata, Nina metapanya dari balik jendela kaca. Tak ada lagi
tawa Bimo sejak dua bulan lalu ia kesakitan di atas ranjang itu. Tak ada lagi
canda guraunya mengejek Nina, orang yang sangat berharga baginya. Nina masih
ingat bagaimana Bimo membelai halus rambutnya saat Nina sedih. Dan bergembira
bersama saat Nina sedang bahagia.
Tiba-tiba dokter datang dan
menghampiri membawa kabar baik. Bimo sudah sadar dari koma panjangnya. Nina
langsung menghampiri kamar Bimo. Dilihatnya Bimo tersenyum. Nina menahan haru.
Bimo meminta Nina mendekat. Bimo menggenggam tangan Nina. Menyelipkan suatu
benda ke telapak tangannya. Bahkan tanpa berkata apa-pun. Nina tersenyum pada
Bimo. Seketika Bimo menutup mata-nya. Nina mulai panik dan meminta pertolongan.
Sampai genggaman tangan Bimo terlepas Nina hanya terdiam. Dilihatnya dokter
menggelengkan kepala. Tangis Nina terpecah, mendekap Bimo dalam pelukannya.
Pelukan terakhir untuknya.
Nina kembali memegangi liontin dari
Bimo saat menatap figura foto itu. Air mata tanpa sadar jatuh di pipinya. Nina
teringat bagaimana ia berjanji kepada Bimo untuk selalu menjaga cinta mereka,
sampai maut memisahkan. Hanya satu kasih, Nina dan Bimo.
Nina teringat Noe kembali. Perasaan
ini tak boleh terus berlanjut. Ia tak mau mengkhianati janjinya bersama Bimo.
Semalaman Nina terus diliputi perasaan bersalah. Ia terlihat sangat gelisah. Ia
bahkan tak berani menatap foto Bimo. Ia tak mau hal ini terus terjadi.
Nina mencari-cari dimana keberadaan
Noe. Ia ingin mengakhiri semua perasaannya pada Noe. Dilihatnya Noe sedang
berjalan di taman kampus. Ia berlari mendekati Noe. Noe sadar Nina berjalan
menuju ke arahnya. Noe malah mempercepat langkah kakinya. Panggilan dari Nina
seolah tak diperdulikannya. Sampai Nina berhasil menghentikannya.
“Mau
ngapain lagi lo?”
“Gue
mau ngomong penting..”
“Apaan
sih, udah ah gue males ngomong sama lo.”
“Please,
ini penting banget..”
“Lo
tau kan kalo gue gak suka diganggu..”
“Oke,
gue gak akan ganggu lo.. ini yang terakhir, gue janji.”
“Cepetan,
gue gak punya banyak waktu..”
Nina menghela napas panjang.
Ditatapnya Noe lekat-lekat. Bibirnya mulai membuka. Walaupun ia tahu, ini semua
akan berat. Tapi ia sudah terlanjur menyukai Noe. Ia harus bisa meluruskan
semua yang terjadi. Ia tak ingin terjebak dalam situasi seperti ini. Ketika harus
memilih antara Noe dan Bimo, yang telah tiada. Namun, Nina tak ingin melanggar
janjinya kepada Bimo. Janji cinta setianya.
“Gue..
Gue suka sama lo”
Noe terdiam saat Nina mengungkapkan
isi hatinya. Sedangkan Nina berusaha sekuat hati untuk tidak kelihatan lemah di
depan Noe. Ia tak ingin Noe mengasihaninya. Ia mencoba tegar dan melanjutkan
perkataannya itu walau dengan berat hati.
“Gue
tahu gue gak sadar diri, gue tahu gue salah karena punya rasa suka sama lo,
makanya gue mau ngelurusin satu hal. Lo liat kan liontin gue?”
Noe tak bergeming. Nina tak perduli
hal itu. Yang penting ia sudah memberitahukan isi hatinya. Tinggal terserah pada
Noe. Walaupun sebenarnya Nina tak ingin kondisi ini terjadi diantara mereka.
Nina tak punya banyak pilihan.
“Ini
dari Bimo, orang yang paling gue sayang. Yang meninggal satu tahun lalu karena
kanker otak stadium akhir. Dengan mata kepala gue ngeliat dia kesakitan di atas
bed rumah sakit, koma, sampai maut menjemputnya. Orang yang ngasih liontin ini
di saat-saat terkahirnya..”
Mata Noe mulai berkaca-kaca.
Mulutnya masih diam membisu. Tak berbeda jauh dengan Nina. Mencoba tetap
berdiri di garis tegar. Matanya sudah memerah. Menahan bendungan air mata yang
tak tertahan lagi untuk jatuh menggelimang.
“Gue
udah buat janji sama dia, akan sehidup semati.. satu cinta.. cinta gue buat dia
gak akan pernah pupus. Dan.. gue gak mau ngelanggar janji itu.. jadi..”
Nina menyeka air matanya. Menarik
napasnya dalam-dalam. Mencoba melukis sebuah senyum di bibirnya. Tangan
kanannya terulur ke arah Noe. Noe yang tertunduk kini mencoba mengangkat dagu.
Ia mencoba menerka-nerka apa yang selanjutnya akan dilakukan oleh Nina.
“Jadi
gue minta lo lupain aja ini, kita ulang dari awal, kita temenan, gimana?. Hai,
gue Nina..”
“Cuma
kayak gini akhirnya??”
Noe langsung menyela permintaan
pertemanan dari Nina. Nina semakin tidak mengerti apa maksud Noe. Mata Nina
lurus bertemu pandang dengan mata Noe. Nina menurunkan tangannya. Noe mulai
mendekat. Sepertinya Noe ingin mengatakan sesuatu pada Nina.
“Coba
lo buka liontin lo..”
Nina semakin tak mengerti apa yang
dikatakan Noe. Dipegangnya liontin pemberian Bimo. Dilihatnya kembali. Benar.
Ada segel disitu. Bagaimana mungkin Noe bisa tahu segel itu. Padahal Nina saja
sebagai pemiliknya satu tahun ini bahkan tak pernah menyadari ada segel di
kalung liontin itu. Dan Noe menyadarkan Nina dari lamunannya. Ia kembali
meminta Nina membuka segel liontin itu.
“Sekarang
gue minta lo buka liontin lo..”
Nina bergeming, melepaskan
liontinnya. Liontin terkhir pemberian Bimo. Di lihatnya wajah Noe. Tatapan mata
Noe meyakinkan Nina untuk membuka liontin itu. Dengan gemetar Nina memberanikan
diri. Jarinya membuka segel liontin walau dengan sedikit gemetar. Liontin
dengan sejuta kenangan yang tertutup rapat, kini karena Noe, Nina akan membuka
pintu memorinya.
“N.K.Y.S..
?”
“N.K.Y.S.,
Noe Kesuma Yudhistira Sastroeamindihardja, itu gue, itu liontin dari gue..”
“Apa
maksudnya ini?”
“Lo
gak salah, lo gak salah kalo lo suka sama gue, berhenti nyalahin diri lo
sendiri, karena..”
“Karena
apa?”
“Karena
Bimo udah nitipin lo sama gue, bahkan jauh sebelum Bimo koma dirumah sakit. Gue
tahu gue gak pantes buat semua ini, lo cuma dititipin sama gue. Tapi gue yakin
Bimo punya maksud lain karena nitipin lo ke gue.”
Nina masih tampak syok. Air mata
jatuh tak tertahan di pipinya. Mendengar Noe menyebut Bimo sebagai sahabat
sejatinya, sahabat sehidup sematinya. Mendengar pengakuan Noe yang mengejutkan.
Noe sudah lama menyukai Nina. Bahkan jauh sebelum ada Bimo di hatinya. Noe
sadar kalau hanya ada satu orang yang berhak atas hati Nina. Dan Nina telah
memilih Bimo. Noe bahkan merelakan Nina, asalkan Nina bahagia. Asalkan
sahabatnya, Bimo, bahagia. Dan Bimo sudah menduga jika umurnya tak mungkin
bertahan lama. Dia meminta Noe menjaga Nina saat dirinya sudah tidak ada nanti.
Dan Noe dengan berat hati menerima permintaan terakhir sahabatnya.
Liontin itu masih digenggam erat Nina. Noe
mendekatinya. Menengadahkan tangan dan merangkul Nina. Membawanya dalam dekapan
erat. Tangis Nina tertumpah tepat di dada Noe. Noe memejamkan mata. Meminta
izin Bimo untuk menjaga Nina. Dilihatnya bayangan Bimo di depan. Melipat tangan
di depan dadanya sembari mengangguk dan tersenyum.
“Mulai
sekarang, gue yang akan jaga lo, dan lo tetep boleh kok nyimpen Bimo di dalam relung
hati lo.”
Nina mengangguk. Masih dalam dekapan
Noe. Dibalasnya pula rangkulan tangan Noe. Noe tersenyum. Nina berterima kasih
pada Noe karena mau mencoba memahami dirinya. Menutup kenangan bersama Bimo
bukanlah hal yang mudah. Tapi Nina akan berusaha sekuat tenaga, bersama Noe.
Sesuai permintaan Bimo. Dilihatnya Noe tersenyum. Menarik pipi Nina sampai pada
pose ‘smile’.
“Eh,
inget ya gue masih senior lo. Kalo gue bilang gue suka sama lo, lo harus jawab
kalo lo juga suka sama gue. Ngerti kan?... GUE SUKA SAMA LO.”
Nina terkesima. Tatapan Noe kali ini
lekat dipelupuk matanya. Tangannya hangat digenggam Noe dengan penuh kasih
sayang. Nina seolah menangkap pesan dari sinar mata Noe. Orang yang akan
menjaga dirinya kelak, menggantikan Bimo. Hampir jatuh lagi air mata Nina.
Tangan besar Noe menyekanya tepat di pipi. Nina tersenyum.
“Iya
kak, gue juga suka sama lo.”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar