Gemericik air tertumpah dari mulut batu kalkit.
Menjulang berpuluh meter dari atas bukit biru itu. Sumba Timur menjadi salah
satu saksi keagungan Tuhan. Membiarkan berkas-berkas kuning abadi menerpa bumi
hariba’an. Kokok si jago nyaring kering ke tulang telinga. Membuka pantulan
ilham ilahi. Menyapa dunia.
“Kitorang
mau pergi ke kali Mama..”
“Hati-hati
batu licin Jo..”
“Iya
Mama.”
Jojo menapaki jalan terjal berbatu untuk bisa sampai
ke kali. Setengah jam harus dilalui untuk berjalan kaki. Semalam desa Kaguan
tetap gulita. Tak ada penerangan saat malam datang. Segelas air bersih-pun
harus ditempuh dengan segenap perjuangan. Sumber mata air kehidupan utama
penghuni desa itu, air terjun Papuyu, berjarak dua kilometer dari perkampungan.
Rasa letih terbayar ketika menyelam dalam sejuknya air
bening itu. Jojo dan Alf sebenarnya ingin berlama-lama, tapi tak begitu dengan
waktu. Waktu memaksa mereka untuk berkemas. Waktu pula yang mengawali hari
mereka pagi ini. Awal dari semua perjalanan. Mereka tak melupakan mama-papa dan
adiknya di rumah. Satu pikul drigen penuh air segar dibawanya pulang.
Seragam putih-merah sudah melekat rapi ditubuh Jojo,
begitu-pun dengan Alf. Kedua sahabat kecil itu hendak menjelajah dunia yang
begitu besar untuk mereka. Senyum ceria tetap menemani setiap langkah mereka.
Sakitnya batuan dan rerantingan pohon di telapak kaki sama sekali tak di
acuhkan mereka. Jangankan untuk mempunyai sepasang sepatu. Memiliki sebuah buku
tulis dan pena baru-pun mereka sudah sangat syukuri. Hanya kiriman dari
dermawan yang menjadi tumpuan mereka.
Kadang berpikir hidup ini tak adil. Anak berusia
sepuluh tahun sudah berani menantang zaman. Berdiri di tengah kerasnya batuan
hidup. Di tengah sekaan peluh. Keluarga di desa Kaguan adalah masyarakat
pengungsi dari Papua. Saat pecah perang delapan tahun lalu, pemerintah
mengungsikan mereka ke daerah aman yang terdekat untuk sementara. Sumba Timur
menjadi pilihan saat itu. Sekitar tiga puluh kepala keluarga membentuk
masyarakat baru di desa ini. Nama Kaguan diambil dari nama kepala desa pertama
yang meninggal tiga tahun lalu. Jojo memanggil tetuah adat itu dengan sapaan
Opa.
Awalnya masyarakat menolak untuk mengungsi. Banyak
permasalahan yang akan timbul di daerah baru. Namun Opa Kaguan mencoba
meyakinkan mereka. Dengan harapan sebuah hidup baru yang dipenuhi kedamaian.
Pemerintah berjanji akan terus menyalurkan bantuan dan secepatnya membawa
mereka ke daerah kota. Masyarakat menyetujui semua saran itu. Namun sembilan
tahun berlalu, bantuan itu tak kunjung tiba. Pemerintah tak pernah datang ke
Kaguan. Masyarakat Kaguan kini benar hidup sendiri. Mencoba mempertahankan
hidup dengan berkawan hutan. Ditengah serpihan badai kehidupan.
Jojo memandang jauh perkampungannya dari atas bukit
savana. Tampak petak-petak atap penduduk yang didominasi daun nipah kering
berjajar di kaki bukit. Alf mengejutkannya. Jojo hanya tersenyum. Telapak
kakinya dingin diterpa angin bukit, namun tangan Jojo tak jua goyang memegang
tas kulit lusuh. Tas yang dibuatkan Opa Kaguan dari kulit sapi.
“Korang
lihat apa Jo?”
“Awan
itu Alf! kitorang pengen pegang awan..”
“Kalau
begitu ayo kita cari tangga..”
“Mau
cari kemana?”
“Ke
desa sebelah saja.. habis sekolah kita berangkat..”
Jojo tersenyum karena Alf mau membantunya. Sepanjang
jalan curam yang mereka lalui tak terasa lelah. Penuh dengan canda tawa
anak-anak rimba. Kaki mereka tak beralas sudah kebal. Alf sahabat setia,
mendengarkan dengan seksama semua keinginan Jojo. Jojo menyebut keinginan itu
sebagai cita-cita.
Alf bingung. Ia bahkan tak mengerti apa itu cita-cita.
Dia bertanya pada Jojo. Jojo-pun sama bingungnya. Ia pernah mendengar sekali
tentang cita-cita, dari Opa Kaguan. Opa bilang sebuah harapan terbang dibalik
awan. Awan membawa semua harapan. Di dalam harapan itu ada sebuah cita-cita.
Oleh karena itu Jojo ingin sekali memegang awan. Ia ingin melihat cita-cita.
Sementara Alf hanya mengangguk, walaupun sebenarnya masih tak paham.
“Selamat
pagi anak-anak!”
“Selamat
pagi Ibu Nani”
Serempak anak-anak menjawab. Kelas
yang sebenarnya lebih tepat disebut gubuk reot beratap pandan itu berisi
sekitar 15 orang anak, termasuk Jojo dan Alf. Perjuangan Ibu Nani mengumpulkan
mereka dari penjuru desa. Tak sedikit orangtua yang menganggap pendidikan di
sini kurang penting. Daripada menghabiskan waktu disini, lebih baik anak-anak
dibawa ke hutan untuk membantu menebang pohon, mengumpulkan ranting, atau
memetik buah-buahan untuk makan.
Segelintir saja yang sadar, atau
tepatnya merelakan anaknya untuk pergi mengarungi sungai lembah bukit untuk
tiba disini. Pengajarnya pun hanya seorang tamatan sekolah rakyat, bekas
jajahan koloni dulu. Pengajar yang mau berbagi ilmu yang ia miliki, walaupun
tak seberapa.
“Pagi
ini, kita dapat tamu dari kota, Opa ini baru sampai pagi tadi.. aaa, silahkan Opa”
Pria berkeriput di kening itu
menyapa anak-anak dengan lambut. Lelah tak bisa disembunyikan dari wajahnya.
Perjalanan satu pekan dari kota terdekat dilalui dengan peluh. Tampak rambutnya
mulai berubah warna menjadi putih. Pak Martin namanya, seorang relawan yang
mampir ke Kaguan.
Jojo dan Alf senang bisa bertemu
dengan Pak Martin. Pak Martin bercerita banyak tentang berbagai hal. Tentang
dirinya, tentang rumahnya, tentang hewan dan tumbuhan, dan tentang sekolah di
sana. Sesekali mereka bercanda, bersenda gurau.
Tiba-tiba Jojo membisikkan sesuatu
ke telinga Alf. Pak Martin cepat menangkap hal itu. Jojo dan Alf hanya
senyum-senyum konyol mendapati Ibu Nani dan Pak Martin memperhatikan mereka.
Jojo dan Alf saling sikut-menyikut. Pak Martin hanya tersenyum. Melihat Jojo
berdiri diikuti pula oleh Alf.
“Jika
sudah tidak ada lagi, kita mau permisi Opa-Ibu... ayo cepat Alf”
Kedua orang tua itu dibuat bingung.
Pak Martin amat tertarik pada mereka. Periang, suka-cita, bersemangat, cerdas,
sopan, dan jujur. Di mana lagi bisa ia temukan permata dunia yang begitu indah.
Jarang sekali di tengah belantara begini. Pak Martin mendekati mereka. Menepuk
pundak mereka dengan lembut.
“Kalian
mau kemana?”
“Kitorang
mau pinjam tangga ke desa sebelah”
“Tangga??”
“Jojo
ingin pegang awan, karena dibalik awan ada cita-cita..”
Pak Martin terperangah mendengar kalimat yang terucap
lantang dari anak-anak hutan itu. Kalimat yang dulu pernah mengiang-ngiang
ditelinganya. Harapan di balik awan.
“Kalian
pernah mendengarnya?”
“Opa
Kaguan pernah bercerita waktu itu”
Pak Martin tersenyum mendengar
celotehan Jojo dan Alf. Kian lama mereka kian menghilang, dari kejauhan
terlihat lari kecil membelah teras savana yang telanjang. Teringat berpuluh
tahun silam, pernah ada dua bocah penjelajah yang memiliki rasa ingin tahu
seperti mereka. Berjanji selalu bersama untuk meraih harapan kala itu. Bersama
mengikuti alur bukit-lembah di ujung tanah mutiara hitam. Saling menguatkan dan
menyemangati. Memperjuangkan hak mereka untuk melihat harapan. Melihat harapan
di balik awan mendung lembayung bukit bertuan.
Bagaimana
kabarmu disana sahabatku? Maaf aku baru bisa kembali hari ini. Aku terkejut,
aku tak menyangka menemukan api kecil disini, bocah hutan kecil seperti kau
dulu. Kecilnya peris kau. Hitamnya persis kau. Keritingnya persis kau.
Semangatnya tak kalah dari kau. Mereka berdua, sama seperti kita dulu. Aku
berharap kau bisa melihatnya. Mereka ada bersamaku, membawa harapan yang
bersembunyi di balik awan.
Cepat Pak Martin menyeka airmata
yang menetes di pipinya. Berkas kerinduan pada teman lama yang kini sudah
tenang bersama Tuhan disana. Seulas senyum menoreh di bibir Pak Martin. Kerinduan
pada sahabatnya yang membuat kakinya melangkah kemari. Pertanda. Harapan Kaguan
kecil yang harus diselamatkannya. Jangan mengulang kisah pahit dahulu. Ketika
harapan hanya tinggal harapan. Harapan yang ini harus menjadi kenyataan, ujung
dari harapan.
“Besok
kita cari di tempat lain yaa”
Alf menenangkan Jojo. Hasilnya sia-sia, di desa
sebelah tidak ada tangga sepanjang itu. Jojo sedikit murung, tapi cepat bangkit
oleh semangat yang diberikan Alf. Mereka kembali tersenyum. Memperlihatkan gigi
putih yang rapi berjejer, bersinar menimpali kulit berwarna gelap milik mereka.
Benar, tidak patah arang. Keesokan paginya mereka
bergegas keluar lagi mencari tangga. Namun sebelum mereka pergi, Mama Tessa
menitipkan Shen kepada Alf, adik perempuannya yang berumur tiga tahun. Mama
bilang, Shen ingin berjalan-jalan di sekitar desa. Alf keberatan dengan titipan
Mama. Bagaimana mereka bisa berlarian cepat kalau mereka mengajak Shen.
Shen menyusahkan saja. Kemana-mana harus digendong,
tidak bisa berlari sendiri. Shen juga mudah haus mudah lapar. Shen suka masih
suka ngompol. Shen juga bawel dan cengeng. Alf bersihkuku tidak mau mengajak
Shen. Shen didudukkannya di batuan depan rumah.
Shen mulai menangis, sementara Alf bersedekap
memalingkan wajah, tanda penolakan. Jojo yang melihat kejadian itu kemudian
berjongkok, menghibur Shen. Membuat wajah-wajah konyol sampai Shen berhenti
menangis dan tergelak tawa. Jojo kemudian bangkit berdiri dan mengajak Alf
segera pergi, bersama Shen juga.
“Kitorang
tak mau ajak Shen-lah, dia perempuan”
“Perempuan
Laki-laki sama saja toh, kita main
sama-sama nanti disana”
“Tak
mau Jo, capek mesti gendong-gendong Shen”
“Yasudah,
nanti aku yang gendong Shen”
Jojo mengambil kain gendongan Shen, dan memapirkannya
ke punggung. Diikuti Alf yang masih meneuk wajahnya. Sepanjang perjalanan Jojo
mengajak Shen bernyanyi dengan riang. Melihat Alf yang masih cemberut,
terkadang dijahili Jojo dengan ilalang. Alf tak betah lama-lama cemberut.
Mereka menggendong Shen secara bergantian. Dengan
sukarela dan sukacita. Mereka bernyanyi bersama sepanjang jalan. Sejenak
melupakan tangga yang sedang mereka cari. Shen juga sudah tertidur pulas di
gendongan Alf. Mereka bertiga beranjak pulang melihat matahari ikut beranjak
turun di langit barat.
Sudah beberapa hari ini Pak Martin selalu berkunjung
ke rumah Alf, lagi-lagi dengan sebuah koper hitam besar. Macam-macam benda yang
dikeluarkannya dari situ. Pak Martin menyentuh kening Shen dengan punggung
tangan. Ada sebuah kayu kecil yang bening bergaris-garis, dimasukkannya ke
mulut Shen, tak lama diangkatnya benda itu sambil dilihat-lihatnya lagi.
Sembari menempelkan kain basah hangat di atas kepala Shen. Alf ingat siang
malam Papa Marlyn dan Mama Tessa bergantian mengganti kain basah itu.
Pagi yang mendung itu Alf melihat Pak Martin ada di
rumahnya. Membawa gantungan tali yang dikaitkan di telinga, ujungnya berbentuk
bandul diletakkan di dada Shen. Alf memperhatikan dari balik punggung Papa
Marlyn. Shen belum bangun, masih tertidur pulas di atas tikar. Tapi wajahnya
pucat.
Pak Martin menghampiri Alf, memeluknya, dan membali
halus rambut ktitingnya. Alf juga melihat Mama Tessa menangis pagi ini.
Ditimang-timangnya Shen yang sedang tertidur. Mama mencium kening Shen dan
memeluknya lagi.
SHENNA MAMONDO. Disamping tanah
gembur dan batu bertulis, Alf mengadah langit. Jojo berjongkok tak jauh dai
Alf, membersihkan tanah itu dari koral-koral kecil dan rerumputan.
Disematkannya kembang sepatu berwarna merah di dekat batu itu, hasil petikan
hutan.
“Tuhan
bawa Shen pergi Jo”
“Tuhan
bawa Shen kemana?
“Papa
bilang Tuhan bawa Shen ke rumahnya”
“Dimana
rumah Tuhan Alf?
“Papa
bilang rumahnya jauh”
“Kapan-kapan
nanti kita mampir ke rumah Tuhan ya”
“Mau
naik apa?”
“Nanti
aku temani jalan kaki-lah”
Jojo memeluk Alf. Turut merasakan
rundungan duka yang menyelimutinya, menyelimuti keluarganya. Alf sesegukan di
pelukan karibnya itu. Melepas kepergian Shen. Adik perempuannya yang suka
menangis itu. Kini tangisan Shen yang kadang dikeluhkan Alf akan sangat
dirindukannya. Selamat jalan Shen, nanti
aku dan Jojo akan mampir mengunjungimu. Benak Alf mengenang adik
kesayangannya.
Papa Marlyn meminta Alf mengembalikan kotak kecil
milik Pak Martin yang ketinggalan kemarin di rumah. Ditemani Jojo, Alf
bertandang ke bilik Pak Martin di dekat sekolah mereka. Sambutan hangat
diberikan pak tua itu kepada Alf dan Jojo. Mata Alf melirik, koper hitam besar
milik Pak Martin di atas meja itu sangat menarik perhatian Alf.
“Kemari
Alf”
Alf mendekati Pak Martin. Pak Martin
membedah koper miliknya. Macam-macam isinya. Seperti yang dilihat Alf di rumah
waktu itu. Ada lagi yang berbentuk botol kecil dengan jarum diujungnya. Ada
jaring laba-laba juga. Pak Martin bercerita banyak. Alf sangat tertarik.
Hari ini
mereka berkunjung ke bilikku membawa awan itu. Terlihat samar namun aku tahu
itu harapan yang sama dengan harapan milikmu dulu. Jika kau tidak sibuk, tolonglah
bantu aku dari atas sana. Perjalanan ini akan panjang dan lama. Batuan terjal
di depan sudah menunggu. Angin badai juga tak kalah seru. Mereka bocah biasa,
dalam sumbu warisanmu. Salam rindu, sahabatku.
Setelah meminta izin pada Papa-Mama
di Kaguan. Jojo dan Alf menemui Pak Martin. Senang bukan main Pak Martin.
Papa-Mama di Kaguan merelakan anaknya merantau menjemput takdir. Pak Martin
yakin, bukan karena dirinya. Keteguhan dan kegigihan mereka yang membuat
Papa-Mama di Kaguan luluh juga. Ini adalah makan malam terkahir mereka ke
Kaguan. Pak Martin memasak makanan istimewa malam ini. Menyelamati Jojo dan Alf.
Putra kecil Kaguan yang mencoba menapaki dunia.
“Kenapa?
kamu tidak suka makanannya Jo?”
Jojo menjawab tidak bersemangat. Makanan yang
terhampar di meja bukan tak lezat. Siapa yang tega menolak semua makanan enak
ini. Jarang-jarang mereka makan makanan seperti ini. Dilihatnya Alf bersemangat
menyikat habis semua hidangan. Jojo hanya menelan ludah.
“Lihatlah
gigiku Opa... goyang, susah makan”
Pak Martin tertawa. Gigi ini yang
membuat Jojo murung belakangan. Alf-pun ikut berhenti mengunyah. Diambilnya piring
kosong, nasi dan lauk-pauk. Disisihkannya piring itu di sudut meja. Tak lupa
pula gelas berisi air minum dan sebuah apel. Pak Martin kembali tersenyum.
“Nanti
kalau peri gigi datang mencabut gigi korang, korang bisa makan yang ini Jo”
Jojo tersenyum senang. Dia berharap
peri gigi segera datang dan mencabut giginya. Susah rasanya, makan dan bicara
dengan gigi goyang. Alf menepuk-nepuk pundak temannya seolah mengerti. Pak
Martin juga terlihat senang dan menyuruh mereka melanjutkan makannya. Setelah
itu mereka bergegas tidur, karena perjalanan besok akan sangat panjang.
“Alf,
lihat!!”
Dengan bersemangat Jojo menunjukkan gigi depannya yang
ompong. Gigi yang kemarin goyang, membuatnya susah makan, susah bicara,
sekarang sudah tanggal. Jojo menyeringai lebar sambil berkacak pinggang. Alf
mengamati gigi Jojo dengan seksama. Ke kiri ke kanan ke atas ke bawah. Tangan
kirinya bersedekap dan tangan kanan diletakkan di dagu. Sambil
mengangguk-anggukan kepala.
“Sudah
kitorang bilang toh, peri gigi itu
tau alamat rumah Opa Martin juga”
“Bagaimana
dia sampai sini Alf? Naik perahu juga-kah?”
“Haaa,
kitorang juga tak tau.. nantilah kita tanya kalo kita ketemu”
Alf melanjutkan investigasi.
Sementara seorang pria tua, teman peri gigi, yang sedang mencuci tangan di
keran air, ikut terkekeh melihat kejenakaan dua bocah kecil berkulit hitam itu.
Ponselnya berdering. Cepat-cepat ia meraih lap kering yang tergantung dan
mengangkat panggilan telponnya.
Pak Martin meminta mereka segera
berkemas-kemas karena jemputan akan datang satu jam lagi. Jojo dan Alf bersorak
riang. Mereka akan tiba di kota. Alf berlari menuju bilik kamarnya. Begitupula
Jojo.
Namun pandangan Jojo tiba-tiba
beralih pada benda kecil di atas meja bilik kamar tengah. Benda apa itu? Didekatinya benda itu, diamatinya baik-baik,
disentuhnya perlahan karena takut rusak. Rasa penasaran Jojo semakin kuat.
Diangkatnya benda itu. Ia tersenyum.
“Kamu
suka?”
Jojo terkejut mendengar suara besar dari balik bilik.
Dilepaskannya benda yang tampak seperti burung itu. Masih terheran-heran dengan
benda yang tak pernah ada di Kaguan itu. Warnanya putih. Punya sayap di sisi
kiri dan kanan. Tak lupa sebuah ekor berdiri tegak di belakang. Anehnya benda
itu tidak berkaki. Keras.
“Ini
burung apa Opa? Kenapa tidak ada kakinya?”
Pak Martin tersenyum melihat keingintahuan Jojo yang
besar. Dipangkunya Jojo kecil yang berambut kriring itu. Diraihnya ‘burung’
yang membuat Jojo penasaran. Jojo tersenyum, memperlihatkan giginya yang ompong
karena peri gigi datang kemarin malam.
“Ini
miniatur burung besi, namanya pesawat terbang..”
Pak Martin menjelaskan dengan
seksama kepada Jojo. Jojo mendengarkan dengan serius setiap cerita Pak Martin.
Tentang burung besi yang berat tapi bisa terbang. Mampu membawa orang-orang dan
mengajaknya terbang melewati pegunungan, lautan, bukit-lembah, dan
tempat-tempat yang jauh. Mata Jojo berbinar mendengarkan cerita Pak Martin.
Jemputan mereka tiba. Dengan sebuah
mobil jeep mereka melesat menuju
pelabuhan di ujung pulau Sumba, mereka menyebutnya pelabuhan Subuh. Mungkin
karena aktivitas di pelabuhan ini ramai di waktu subuh sehingga penduduk
menamainya pelabuhan Subuh.
Lima jam perjalanan darat, ditambah
enam jam perjalanan laut menggunakan kapal. Jojo dan Alf melambaikan tangan
pada bukit savana mereka yang bisa terlihat jelas dari laut Sumba. Bukit itu
indah. Hijau kekuningan. Germerlap terpantul cahaya matahari di balik selimut
awan. Sampai jumpa Sumba. Sampai Jumpa
Kaguan.
“Ini
sarang burung yang Opa ceritakan kemarin Alf”
“Oooohh..”
Alf hanya berde-oh- mengagumi sarang burung yang besar
itu. Tidak ada ranting-ranting seperti sarang si parkit di Kaguan. Matanya luas
memandang sekeliling. Hilir-mudik orang-orang, ramai. Menenteng karung-karung
besar yang ada roda di bawahnya.
“Opa
Martin bilang, kita bisa pergi ke tempat jauh pakai burung itu Alf”
“Tempat
jauh?.. nanti kita berkunjung ke tempat Shen kalau begitu ya?”
“Iya,
korang tanya-lah dimana rumah Tuhan, bilang nanti kita akan kesana menjenguk
Shen”
“Iya,
nanti aku tanya ya”
Kedua sahabat kecil tadi masih terkagum-kagum.
Megah dan ramainya tempat yang belum pernah mereka kunjungi ini. Tiba-tiba Jojo
teringat sesuatu. Dengan sigap ia membuka ransel kecil di belakang punggungnya.
Alf hanya mengawasi. Entah apa yang sedang dicari Jojo.
“Ahaa,
Opa Martin, boleh-lah kita ambil gambar pakai ini”
Jojo mengangkat kamera polaroid milik Pak Martin yang
dititipkan padanya. Pak Martin tersenyum ramah. Mengatur posisi mereka berdua berjajar
untuk difoto. Satu..Dua..Tiga.. JPRRET! Kertas
putih berisi gambar anak kecil di depan pintu utara bandara Ngurai Rai Bali
keluar dari kamera itu. Pak Martin mengipas-ngipas kertas itu. Setelah kering,
ia berikan kertas itu pada Jojo dan Alf.
“Nah,
korang simpan ini Alf”
Jojo memberikan hasil jepretan itu
pada Alf. Alf memegangnya dengan haru. Terlihat gigi ompong Jojo disitu
sementara dirinya dengan pose senyum manis memegang pundak sahabatnya.
Dipandangnya Jojo yang masih celingak-celinguk memeperhatikan sekitar.
“Kitorang
akan merindukan kau Jo, baik-baik disana yaa..”
Jojo memandang Alf sekali lagi. Dia juga akan sangat
merindukan sahabatnya satu ini. Begitupulah Alf, yang sudah berderai airmata
melepas kepergian Jojo. Pak Martin ikut terharu melihat ketulusan dua bocah
rimba-nya yang akan berpisah. Melangkah menuju cita-cita mereka. Menapaki tapak
terjal dalam dua jalur berbeda. Berdiri di masing-masing sisi dan saling
menguatkan dalam jauh.
“Kita
kirim-kirim surat yaa..”
Jojo dan Alf berpelukan sekali lagi. Kali ini Alf
menangis kencang. Jojo minta mereka saling berkirim surat, tapi Alf sungguh
tidak pandai menulis. Jojo menenangkan Alf. Dihapusnya air mata Alf yang
membasahi pipi. Diacungkannya dua jempol di depan Alf.
“Kirimnya
nanti saja, kalau korang sudah pandai menulis yaa..”
Alf mengangguk. Disekanya air mata yang masih turun
dipipi. Mengikuti, Alf mengacungkan dua jempol di depan Jojo. Berjanji akan
mengirimkan surat kalau nanti dia sudah pandai menulis. Pak Martin yang
mengawasi mereka turut mengharu. Di belainya rambut bocah-bocah yang sudah
dianggapnya cucu sendiri itu. Mereka berpelukan sampai panggilan terdengar dari
kotak pengeras suara di plafon sudut atas.
Sahabatku,
Kaguan. Kini aku berada di perpisahan lagi. Ngurah Rai yang kali ini menjadi
saksi bisu perpisahan dua sahabat karib yang mencoba menantang dunia. Takdir
memang meminta mereka berjalan tak beriring. Sejatinya, mereka menguatkan satu
sama lain, dari punggung benua berbeda namun payung awan yang sama. Terima kasih
telah memberikan sebuah harapan untukku. Melalui surat ini, aku titipkan
harapan dari kaki kecil sahabat yang berdiri di balik awan.... kepada mereka.
“Selamat pagi dok, ada titipan surat untuk
dokter”
Seseorang berseragam masuk ke sebuah ruangan berbau
khas, mengejutkan pria setengah baya yang duduk di belakang mejanya. Ucapan
terimakasih ikut mengantarkan orang itu kembali keluar dari ruangan. Pria
setengah baya yang dititipi surat menarik napas.
Amplop berisi kerinduan itu tepat di pelupuk mata.
Amplop istimewa. Berisi kerinduan Kaguan, kerinduan Papuyu, dan kerinduan Sumba
Timur.
Alf tersenyum melihat nama pengirim surat itu.
Diambilnya kaca mata dari laci lemari meja. Haru rasanya Alf membuka amplop
cokelat yang ada di atas meja kerjanya. Figura foto juga ditatapnya erat. Foto
dua orang sahabat kecil saat tiba pertama kali di bandara Ngurah Rai. Alf tak
mau berlama-lama. Ia sudah rindu bau surat itu.
Kepada Yth.
dr. Alfian Mamondo
Jalan Kasuari III Nomor 24
Jakarta Pusat
Hai Alf, kitorang sangat
rindu kau. Bagaimana kabar kau disana? Masih adakah hewan-hewan yang kau
jadikan sasaran salah suntik. Aku disini sehat. Mama masih suka mabuk kalau
kitorang ajak naik kapal. Sedangkan si Papa suka dengan hobi barunya, main
game.
Duapuluh lima tahun
sangat lama kita tak bertemu. Wajah kau pasti sudah berubah. Apalagi saat kau
mengenakan jas putih dokter itu. Apa kabarnya juga Papa Marlyn dan Mama Tessa?
Masih suka muntah-muntah kah kalau melihat darah? Kapan-kapan kau ajak lah
mereka ke tempatku. Nanti aku antar ke Liberty Statue. Kita sama-sama lihat
matahari terbenam. Walaupun warnanya tak sejingga matahari di Kaguan.
Alf, kitorang
sekarang sudah bisa pegang awan. Aku cari-cari harapan di balik awan seperti
kata Opa Kaguan dulu, tapi tak ada. Awan itu dingin Alf. Kitorang coba mau bawa
pulang awan. Tapi awannya hilang di jalan. Benar juga kata Opa. Awan akan tetap
terbang ke atas angkasa membawa harapan. Harapanku mau bawa awan sebagai
oleh-oleh Mama. Tapi Mama malah minta daun ubi. Susah sekali cari daun ubi di
sini. Rindu dia ingin masak makanan yang biasa dulu.
Kitorang baru saja
menatap foto Sumba Timur Alf. Kitorang dapat kiriman dari Opa Martin. Tak ada
yang berbeda dari sana. Masih ada bukit savana yang sering kita lewati saat
sekolah. Tapi sekarang ada sebuah jembatan baru yang dibuat ke arah Kaguan.
Jadi anak-anak disana tak perlu susah payah mendaki bukit lagi. Kaguan malam
juga tak gelap lagi. Listrik sudah masuk disana. Kaguan sekarang ramai.
Saat kitorang
melintas di atas Sumba Timur, kitorang melihat Kaguan begitu kecil. Atap-atap
rumah sudah tak tampak lagi. Beda saat kitorang melihat dari atas bukit savana.
Kitorang rindu Kaguan Alf. Kitorang ingin mandi
di air terjun Papuyu seperti dulu. Kitorang ingin menyapa hewan dan
tumbuhan hutan yang biasa menemani kita dulu.
Kitorang sudah punya
email baru tapi kitorang tak terbiasa kirim pesan pakai email. Disini semua
sudah pakai email, cuma kitorang sendiri yang masih pakai surat. Kitorang tak
bisa lupa jasa Ibu Nani ajarkan kita baca dan tulis pakai pena sampai sekarang.
Oh iya, kitorang juga rindu dia. Kitorang juga sangat rindu kau Alf.
Alf jangan lupa
balaslah suratku ini. Kalau kau tak biasa menulis lagi, pakai email juga tak
masalah. Kirimkan ke jonathan.mathius@airbus.com. Kitorang tunggu kau
Alf. Kitorang ingin mengajak kau keliling benua pakai pesawat baru kitorang
punya.
St. John F.F. Kennedy No.01, United States
Sahabatmu,
Jojo
Jonathan Mathius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar