Check this !!

Selasa, 08 Juli 2014

LEMBAYUNG SAVANA





Gemericik air tertumpah dari mulut batu kalkit. Menjulang berpuluh meter dari atas bukit biru itu. Sumba Timur menjadi salah satu saksi keagungan Tuhan. Membiarkan berkas-berkas kuning abadi menerpa bumi hariba’an. Kokok si jago nyaring kering ke tulang telinga. Membuka pantulan ilham ilahi. Menyapa dunia.
“Kitorang mau pergi ke kali Mama..”
“Hati-hati batu licin Jo..”
“Iya Mama.”
Jojo menapaki jalan terjal berbatu untuk bisa sampai ke kali. Setengah jam harus dilalui untuk berjalan kaki. Semalam desa Kaguan tetap gulita. Tak ada penerangan saat malam datang. Segelas air bersih-pun harus ditempuh dengan segenap perjuangan. Sumber mata air kehidupan utama penghuni desa itu, air terjun Papuyu, berjarak dua kilometer dari perkampungan.
Rasa letih terbayar ketika menyelam dalam sejuknya air bening itu. Jojo dan Alf sebenarnya ingin berlama-lama, tapi tak begitu dengan waktu. Waktu memaksa mereka untuk berkemas. Waktu pula yang mengawali hari mereka pagi ini. Awal dari semua perjalanan. Mereka tak melupakan mama-papa dan adiknya di rumah. Satu pikul drigen penuh air segar dibawanya pulang.
Seragam putih-merah sudah melekat rapi ditubuh Jojo, begitu-pun dengan Alf. Kedua sahabat kecil itu hendak menjelajah dunia yang begitu besar untuk mereka. Senyum ceria tetap menemani setiap langkah mereka. Sakitnya batuan dan rerantingan pohon di telapak kaki sama sekali tak di acuhkan mereka. Jangankan untuk mempunyai sepasang sepatu. Memiliki sebuah buku tulis dan pena baru-pun mereka sudah sangat syukuri. Hanya kiriman dari dermawan yang menjadi tumpuan mereka.
Kadang berpikir hidup ini tak adil. Anak berusia sepuluh tahun sudah berani menantang zaman. Berdiri di tengah kerasnya batuan hidup. Di tengah sekaan peluh. Keluarga di desa Kaguan adalah masyarakat pengungsi dari Papua. Saat pecah perang delapan tahun lalu, pemerintah mengungsikan mereka ke daerah aman yang terdekat untuk sementara. Sumba Timur menjadi pilihan saat itu. Sekitar tiga puluh kepala keluarga membentuk masyarakat baru di desa ini. Nama Kaguan diambil dari nama kepala desa pertama yang meninggal tiga tahun lalu. Jojo memanggil tetuah adat itu dengan sapaan Opa.
Awalnya masyarakat menolak untuk mengungsi. Banyak permasalahan yang akan timbul di daerah baru. Namun Opa Kaguan mencoba meyakinkan mereka. Dengan harapan sebuah hidup baru yang dipenuhi kedamaian. Pemerintah berjanji akan terus menyalurkan bantuan dan secepatnya membawa mereka ke daerah kota. Masyarakat menyetujui semua saran itu. Namun sembilan tahun berlalu, bantuan itu tak kunjung tiba. Pemerintah tak pernah datang ke Kaguan. Masyarakat Kaguan kini benar hidup sendiri. Mencoba mempertahankan hidup dengan berkawan hutan. Ditengah serpihan badai kehidupan.
Jojo memandang jauh perkampungannya dari atas bukit savana. Tampak petak-petak atap penduduk yang didominasi daun nipah kering berjajar di kaki bukit. Alf mengejutkannya. Jojo hanya tersenyum. Telapak kakinya dingin diterpa angin bukit, namun tangan Jojo tak jua goyang memegang tas kulit lusuh. Tas yang dibuatkan Opa Kaguan dari kulit sapi.
“Korang lihat apa Jo?”
“Awan itu Alf! kitorang pengen pegang awan..”
“Kalau begitu ayo kita cari tangga..”
“Mau cari kemana?”
“Ke desa sebelah saja.. habis sekolah kita berangkat..”
Jojo tersenyum karena Alf mau membantunya. Sepanjang jalan curam yang mereka lalui tak terasa lelah. Penuh dengan canda tawa anak-anak rimba. Kaki mereka tak beralas sudah kebal. Alf sahabat setia, mendengarkan dengan seksama semua keinginan Jojo. Jojo menyebut keinginan itu sebagai cita-cita.
Alf bingung. Ia bahkan tak mengerti apa itu cita-cita. Dia bertanya pada Jojo. Jojo-pun sama bingungnya. Ia pernah mendengar sekali tentang cita-cita, dari Opa Kaguan. Opa bilang sebuah harapan terbang dibalik awan. Awan membawa semua harapan. Di dalam harapan itu ada sebuah cita-cita. Oleh karena itu Jojo ingin sekali memegang awan. Ia ingin melihat cita-cita. Sementara Alf hanya mengangguk, walaupun sebenarnya masih tak paham.
“Selamat pagi anak-anak!”
“Selamat pagi Ibu Nani”
            Serempak anak-anak menjawab. Kelas yang sebenarnya lebih tepat disebut gubuk reot beratap pandan itu berisi sekitar 15 orang anak, termasuk Jojo dan Alf. Perjuangan Ibu Nani mengumpulkan mereka dari penjuru desa. Tak sedikit orangtua yang menganggap pendidikan di sini kurang penting. Daripada menghabiskan waktu disini, lebih baik anak-anak dibawa ke hutan untuk membantu menebang pohon, mengumpulkan ranting, atau memetik buah-buahan untuk makan.
            Segelintir saja yang sadar, atau tepatnya merelakan anaknya untuk pergi mengarungi sungai lembah bukit untuk tiba disini. Pengajarnya pun hanya seorang tamatan sekolah rakyat, bekas jajahan koloni dulu. Pengajar yang mau berbagi ilmu yang ia miliki, walaupun tak seberapa.
“Pagi ini, kita dapat tamu dari kota, Opa ini baru sampai pagi tadi.. aaa, silahkan Opa”
            Pria berkeriput di kening itu menyapa anak-anak dengan lambut. Lelah tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Perjalanan satu pekan dari kota terdekat dilalui dengan peluh. Tampak rambutnya mulai berubah warna menjadi putih. Pak Martin namanya, seorang relawan yang mampir ke Kaguan.
            Jojo dan Alf senang bisa bertemu dengan Pak Martin. Pak Martin bercerita banyak tentang berbagai hal. Tentang dirinya, tentang rumahnya, tentang hewan dan tumbuhan, dan tentang sekolah di sana. Sesekali mereka bercanda, bersenda gurau.
            Tiba-tiba Jojo membisikkan sesuatu ke telinga Alf. Pak Martin cepat menangkap hal itu. Jojo dan Alf hanya senyum-senyum konyol mendapati Ibu Nani dan Pak Martin memperhatikan mereka. Jojo dan Alf saling sikut-menyikut. Pak Martin hanya tersenyum. Melihat Jojo berdiri diikuti pula oleh Alf.
“Jika sudah tidak ada lagi, kita mau permisi Opa-Ibu... ayo cepat Alf”
            Kedua orang tua itu dibuat bingung. Pak Martin amat tertarik pada mereka. Periang, suka-cita, bersemangat, cerdas, sopan, dan jujur. Di mana lagi bisa ia temukan permata dunia yang begitu indah. Jarang sekali di tengah belantara begini. Pak Martin mendekati mereka. Menepuk pundak mereka dengan lembut.
“Kalian mau kemana?”
“Kitorang mau pinjam tangga ke desa sebelah”
“Tangga??”
“Jojo ingin pegang awan, karena dibalik awan ada cita-cita..”
Pak Martin terperangah mendengar kalimat yang terucap lantang dari anak-anak hutan itu. Kalimat yang dulu pernah mengiang-ngiang ditelinganya. Harapan di balik awan.
“Kalian pernah mendengarnya?”
“Opa Kaguan pernah bercerita waktu itu”
            Pak Martin tersenyum mendengar celotehan Jojo dan Alf. Kian lama mereka kian menghilang, dari kejauhan terlihat lari kecil membelah teras savana yang telanjang. Teringat berpuluh tahun silam, pernah ada dua bocah penjelajah yang memiliki rasa ingin tahu seperti mereka. Berjanji selalu bersama untuk meraih harapan kala itu. Bersama mengikuti alur bukit-lembah di ujung tanah mutiara hitam. Saling menguatkan dan menyemangati. Memperjuangkan hak mereka untuk melihat harapan. Melihat harapan di balik awan mendung lembayung bukit bertuan.

Bagaimana kabarmu disana sahabatku? Maaf aku baru bisa kembali hari ini. Aku terkejut, aku tak menyangka menemukan api kecil disini, bocah hutan kecil seperti kau dulu. Kecilnya peris kau. Hitamnya persis kau. Keritingnya persis kau. Semangatnya tak kalah dari kau. Mereka berdua, sama seperti kita dulu. Aku berharap kau bisa melihatnya. Mereka ada bersamaku, membawa harapan yang bersembunyi di balik awan.

            Cepat Pak Martin menyeka airmata yang menetes di pipinya. Berkas kerinduan pada teman lama yang kini sudah tenang bersama Tuhan disana. Seulas senyum menoreh di bibir Pak Martin. Kerinduan pada sahabatnya yang membuat kakinya melangkah kemari. Pertanda. Harapan Kaguan kecil yang harus diselamatkannya. Jangan mengulang kisah pahit dahulu. Ketika harapan hanya tinggal harapan. Harapan yang ini harus menjadi kenyataan, ujung dari harapan.
“Besok kita cari di tempat lain yaa”
Alf menenangkan Jojo. Hasilnya sia-sia, di desa sebelah tidak ada tangga sepanjang itu. Jojo sedikit murung, tapi cepat bangkit oleh semangat yang diberikan Alf. Mereka kembali tersenyum. Memperlihatkan gigi putih yang rapi berjejer, bersinar menimpali kulit berwarna gelap milik mereka.
Benar, tidak patah arang. Keesokan paginya mereka bergegas keluar lagi mencari tangga. Namun sebelum mereka pergi, Mama Tessa menitipkan Shen kepada Alf, adik perempuannya yang berumur tiga tahun. Mama bilang, Shen ingin berjalan-jalan di sekitar desa. Alf keberatan dengan titipan Mama. Bagaimana mereka bisa berlarian cepat kalau mereka mengajak Shen.
Shen menyusahkan saja. Kemana-mana harus digendong, tidak bisa berlari sendiri. Shen juga mudah haus mudah lapar. Shen suka masih suka ngompol. Shen juga bawel dan cengeng. Alf bersihkuku tidak mau mengajak Shen. Shen didudukkannya di batuan depan rumah.
Shen mulai menangis, sementara Alf bersedekap memalingkan wajah, tanda penolakan. Jojo yang melihat kejadian itu kemudian berjongkok, menghibur Shen. Membuat wajah-wajah konyol sampai Shen berhenti menangis dan tergelak tawa. Jojo kemudian bangkit berdiri dan mengajak Alf segera pergi, bersama Shen juga.
“Kitorang tak mau ajak Shen-lah, dia perempuan”
“Perempuan Laki-laki sama saja toh, kita main sama-sama nanti disana”
“Tak mau Jo, capek mesti gendong-gendong Shen”
“Yasudah, nanti aku yang gendong Shen”
Jojo mengambil kain gendongan Shen, dan memapirkannya ke punggung. Diikuti Alf yang masih meneuk wajahnya. Sepanjang perjalanan Jojo mengajak Shen bernyanyi dengan riang. Melihat Alf yang masih cemberut, terkadang dijahili Jojo dengan ilalang. Alf tak betah lama-lama cemberut.
Mereka menggendong Shen secara bergantian. Dengan sukarela dan sukacita. Mereka bernyanyi bersama sepanjang jalan. Sejenak melupakan tangga yang sedang mereka cari. Shen juga sudah tertidur pulas di gendongan Alf. Mereka bertiga beranjak pulang melihat matahari ikut beranjak turun di langit barat.
Sudah beberapa hari ini Pak Martin selalu berkunjung ke rumah Alf, lagi-lagi dengan sebuah koper hitam besar. Macam-macam benda yang dikeluarkannya dari situ. Pak Martin menyentuh kening Shen dengan punggung tangan. Ada sebuah kayu kecil yang bening bergaris-garis, dimasukkannya ke mulut Shen, tak lama diangkatnya benda itu sambil dilihat-lihatnya lagi. Sembari menempelkan kain basah hangat di atas kepala Shen. Alf ingat siang malam Papa Marlyn dan Mama Tessa bergantian mengganti kain basah itu.
Pagi yang mendung itu Alf melihat Pak Martin ada di rumahnya. Membawa gantungan tali yang dikaitkan di telinga, ujungnya berbentuk bandul diletakkan di dada Shen. Alf memperhatikan dari balik punggung Papa Marlyn. Shen belum bangun, masih tertidur pulas di atas tikar. Tapi wajahnya pucat.
Pak Martin menghampiri Alf, memeluknya, dan membali halus rambut ktitingnya. Alf juga melihat Mama Tessa menangis pagi ini. Ditimang-timangnya Shen yang sedang tertidur. Mama mencium kening Shen dan memeluknya lagi.
            SHENNA MAMONDO. Disamping tanah gembur dan batu bertulis, Alf mengadah langit. Jojo berjongkok tak jauh dai Alf, membersihkan tanah itu dari koral-koral kecil dan rerumputan. Disematkannya kembang sepatu berwarna merah di dekat batu itu, hasil petikan hutan.
“Tuhan bawa Shen pergi Jo”
“Tuhan bawa Shen kemana?
“Papa bilang Tuhan bawa Shen ke rumahnya”
“Dimana rumah Tuhan Alf?
“Papa bilang rumahnya jauh”
“Kapan-kapan nanti kita mampir ke rumah Tuhan ya”
“Mau naik apa?”
“Nanti aku temani jalan kaki-lah”
            Jojo memeluk Alf. Turut merasakan rundungan duka yang menyelimutinya, menyelimuti keluarganya. Alf sesegukan di pelukan karibnya itu. Melepas kepergian Shen. Adik perempuannya yang suka menangis itu. Kini tangisan Shen yang kadang dikeluhkan Alf akan sangat dirindukannya. Selamat jalan Shen, nanti aku dan Jojo akan mampir mengunjungimu. Benak Alf mengenang adik kesayangannya.
Papa Marlyn meminta Alf mengembalikan kotak kecil milik Pak Martin yang ketinggalan kemarin di rumah. Ditemani Jojo, Alf bertandang ke bilik Pak Martin di dekat sekolah mereka. Sambutan hangat diberikan pak tua itu kepada Alf dan Jojo. Mata Alf melirik, koper hitam besar milik Pak Martin di atas meja itu sangat menarik perhatian Alf.
“Kemari Alf”
            Alf mendekati Pak Martin. Pak Martin membedah koper miliknya. Macam-macam isinya. Seperti yang dilihat Alf di rumah waktu itu. Ada lagi yang berbentuk botol kecil dengan jarum diujungnya. Ada jaring laba-laba juga. Pak Martin bercerita banyak. Alf sangat tertarik.

Hari ini mereka berkunjung ke bilikku membawa awan itu. Terlihat samar namun aku tahu itu harapan yang sama dengan harapan milikmu dulu. Jika kau tidak sibuk, tolonglah bantu aku dari atas sana. Perjalanan ini akan panjang dan lama. Batuan terjal di depan sudah menunggu. Angin badai juga tak kalah seru. Mereka bocah biasa, dalam sumbu warisanmu. Salam rindu, sahabatku.

            Setelah meminta izin pada Papa-Mama di Kaguan. Jojo dan Alf menemui Pak Martin. Senang bukan main Pak Martin. Papa-Mama di Kaguan merelakan anaknya merantau menjemput takdir. Pak Martin yakin, bukan karena dirinya. Keteguhan dan kegigihan mereka yang membuat Papa-Mama di Kaguan luluh juga. Ini adalah makan malam terkahir mereka ke Kaguan. Pak Martin memasak makanan istimewa malam ini. Menyelamati Jojo dan Alf. Putra kecil Kaguan yang mencoba menapaki dunia.
“Kenapa? kamu tidak suka makanannya Jo?”
Jojo menjawab tidak bersemangat. Makanan yang terhampar di meja bukan tak lezat. Siapa yang tega menolak semua makanan enak ini. Jarang-jarang mereka makan makanan seperti ini. Dilihatnya Alf bersemangat menyikat habis semua hidangan. Jojo hanya menelan ludah.
“Lihatlah gigiku Opa... goyang, susah makan”
            Pak Martin tertawa. Gigi ini yang membuat Jojo murung belakangan. Alf-pun ikut berhenti mengunyah. Diambilnya piring kosong, nasi dan lauk-pauk. Disisihkannya piring itu di sudut meja. Tak lupa pula gelas berisi air minum dan sebuah apel. Pak Martin kembali tersenyum.
“Nanti kalau peri gigi datang mencabut gigi korang, korang bisa makan yang ini Jo”
            Jojo tersenyum senang. Dia berharap peri gigi segera datang dan mencabut giginya. Susah rasanya, makan dan bicara dengan gigi goyang. Alf menepuk-nepuk pundak temannya seolah mengerti. Pak Martin juga terlihat senang dan menyuruh mereka melanjutkan makannya. Setelah itu mereka bergegas tidur, karena perjalanan besok akan sangat panjang.
“Alf, lihat!!”
Dengan bersemangat Jojo menunjukkan gigi depannya yang ompong. Gigi yang kemarin goyang, membuatnya susah makan, susah bicara, sekarang sudah tanggal. Jojo menyeringai lebar sambil berkacak pinggang. Alf mengamati gigi Jojo dengan seksama. Ke kiri ke kanan ke atas ke bawah. Tangan kirinya bersedekap dan tangan kanan diletakkan di dagu. Sambil mengangguk-anggukan kepala.
“Sudah kitorang bilang toh, peri gigi itu tau alamat rumah Opa Martin juga”
“Bagaimana dia sampai sini Alf? Naik perahu juga-kah?”
“Haaa, kitorang juga tak tau.. nantilah kita tanya kalo kita ketemu”
            Alf melanjutkan investigasi. Sementara seorang pria tua, teman peri gigi, yang sedang mencuci tangan di keran air, ikut terkekeh melihat kejenakaan dua bocah kecil berkulit hitam itu. Ponselnya berdering. Cepat-cepat ia meraih lap kering yang tergantung dan mengangkat panggilan telponnya.
            Pak Martin meminta mereka segera berkemas-kemas karena jemputan akan datang satu jam lagi. Jojo dan Alf bersorak riang. Mereka akan tiba di kota. Alf berlari menuju bilik kamarnya. Begitupula Jojo.
            Namun pandangan Jojo tiba-tiba beralih pada benda kecil di atas meja bilik kamar tengah. Benda apa itu? Didekatinya benda itu, diamatinya baik-baik, disentuhnya perlahan karena takut rusak. Rasa penasaran Jojo semakin kuat. Diangkatnya benda itu. Ia tersenyum.
“Kamu suka?”
Jojo terkejut mendengar suara besar dari balik bilik. Dilepaskannya benda yang tampak seperti burung itu. Masih terheran-heran dengan benda yang tak pernah ada di Kaguan itu. Warnanya putih. Punya sayap di sisi kiri dan kanan. Tak lupa sebuah ekor berdiri tegak di belakang. Anehnya benda itu tidak berkaki. Keras.
“Ini burung apa Opa? Kenapa tidak ada kakinya?”
Pak Martin tersenyum melihat keingintahuan Jojo yang besar. Dipangkunya Jojo kecil yang berambut kriring itu. Diraihnya ‘burung’ yang membuat Jojo penasaran. Jojo tersenyum, memperlihatkan giginya yang ompong karena peri gigi datang kemarin malam.
“Ini miniatur burung besi, namanya pesawat terbang..”
            Pak Martin menjelaskan dengan seksama kepada Jojo. Jojo mendengarkan dengan serius setiap cerita Pak Martin. Tentang burung besi yang berat tapi bisa terbang. Mampu membawa orang-orang dan mengajaknya terbang melewati pegunungan, lautan, bukit-lembah, dan tempat-tempat yang jauh. Mata Jojo berbinar mendengarkan cerita Pak Martin.
            Jemputan mereka tiba. Dengan sebuah mobil jeep mereka melesat menuju pelabuhan di ujung pulau Sumba, mereka menyebutnya pelabuhan Subuh. Mungkin karena aktivitas di pelabuhan ini ramai di waktu subuh sehingga penduduk menamainya pelabuhan Subuh.
            Lima jam perjalanan darat, ditambah enam jam perjalanan laut menggunakan kapal. Jojo dan Alf melambaikan tangan pada bukit savana mereka yang bisa terlihat jelas dari laut Sumba. Bukit itu indah. Hijau kekuningan. Germerlap terpantul cahaya matahari di balik selimut awan. Sampai jumpa Sumba. Sampai Jumpa Kaguan.
“Ini sarang burung yang Opa ceritakan kemarin Alf”
“Oooohh..”
Alf hanya berde-oh- mengagumi sarang burung yang besar itu. Tidak ada ranting-ranting seperti sarang si parkit di Kaguan. Matanya luas memandang sekeliling. Hilir-mudik orang-orang, ramai. Menenteng karung-karung besar yang ada roda di bawahnya.
“Opa Martin bilang, kita bisa pergi ke tempat jauh pakai burung itu Alf”
“Tempat jauh?.. nanti kita berkunjung ke tempat Shen kalau begitu ya?”
“Iya, korang tanya-lah dimana rumah Tuhan, bilang nanti kita akan kesana menjenguk Shen”
“Iya, nanti aku tanya ya”
            Kedua sahabat kecil tadi masih terkagum-kagum. Megah dan ramainya tempat yang belum pernah mereka kunjungi ini. Tiba-tiba Jojo teringat sesuatu. Dengan sigap ia membuka ransel kecil di belakang punggungnya. Alf hanya mengawasi. Entah apa yang sedang dicari Jojo.
“Ahaa, Opa Martin, boleh-lah kita ambil gambar pakai ini”
Jojo mengangkat kamera polaroid milik Pak Martin yang dititipkan padanya. Pak Martin tersenyum ramah. Mengatur posisi mereka berdua berjajar untuk difoto. Satu..Dua..Tiga.. JPRRET! Kertas putih berisi gambar anak kecil di depan pintu utara bandara Ngurai Rai Bali keluar dari kamera itu. Pak Martin mengipas-ngipas kertas itu. Setelah kering, ia berikan kertas itu pada Jojo dan Alf.
“Nah, korang simpan ini Alf”
            Jojo memberikan hasil jepretan itu pada Alf. Alf memegangnya dengan haru. Terlihat gigi ompong Jojo disitu sementara dirinya dengan pose senyum manis memegang pundak sahabatnya. Dipandangnya Jojo yang masih celingak-celinguk memeperhatikan sekitar.
“Kitorang akan merindukan kau Jo, baik-baik disana yaa..”
Jojo memandang Alf sekali lagi. Dia juga akan sangat merindukan sahabatnya satu ini. Begitupulah Alf, yang sudah berderai airmata melepas kepergian Jojo. Pak Martin ikut terharu melihat ketulusan dua bocah rimba-nya yang akan berpisah. Melangkah menuju cita-cita mereka. Menapaki tapak terjal dalam dua jalur berbeda. Berdiri di masing-masing sisi dan saling menguatkan dalam jauh.
“Kita kirim-kirim surat yaa..”
Jojo dan Alf berpelukan sekali lagi. Kali ini Alf menangis kencang. Jojo minta mereka saling berkirim surat, tapi Alf sungguh tidak pandai menulis. Jojo menenangkan Alf. Dihapusnya air mata Alf yang membasahi pipi. Diacungkannya dua jempol di depan Alf.
“Kirimnya nanti saja, kalau korang sudah pandai menulis yaa..”
Alf mengangguk. Disekanya air mata yang masih turun dipipi. Mengikuti, Alf mengacungkan dua jempol di depan Jojo. Berjanji akan mengirimkan surat kalau nanti dia sudah pandai menulis. Pak Martin yang mengawasi mereka turut mengharu. Di belainya rambut bocah-bocah yang sudah dianggapnya cucu sendiri itu. Mereka berpelukan sampai panggilan terdengar dari kotak pengeras suara di plafon sudut atas.

Sahabatku, Kaguan. Kini aku berada di perpisahan lagi. Ngurah Rai yang kali ini menjadi saksi bisu perpisahan dua sahabat karib yang mencoba menantang dunia. Takdir memang meminta mereka berjalan tak beriring. Sejatinya, mereka menguatkan satu sama lain, dari punggung benua berbeda namun payung awan yang sama. Terima kasih telah memberikan sebuah harapan untukku. Melalui surat ini, aku titipkan harapan dari kaki kecil sahabat yang berdiri di balik awan.... kepada mereka.

 “Selamat pagi dok, ada titipan surat untuk dokter”
Seseorang berseragam masuk ke sebuah ruangan berbau khas, mengejutkan pria setengah baya yang duduk di belakang mejanya. Ucapan terimakasih ikut mengantarkan orang itu kembali keluar dari ruangan. Pria setengah baya yang dititipi surat menarik napas.
Amplop berisi kerinduan itu tepat di pelupuk mata. Amplop istimewa. Berisi kerinduan Kaguan, kerinduan Papuyu, dan kerinduan Sumba Timur.
Alf tersenyum melihat nama pengirim surat itu. Diambilnya kaca mata dari laci lemari meja. Haru rasanya Alf membuka amplop cokelat yang ada di atas meja kerjanya. Figura foto juga ditatapnya erat. Foto dua orang sahabat kecil saat tiba pertama kali di bandara Ngurah Rai. Alf tak mau berlama-lama. Ia sudah rindu bau surat itu.


Kepada Yth.
dr. Alfian Mamondo
Jalan Kasuari III Nomor 24
Jakarta Pusat

Hai Alf, kitorang sangat rindu kau. Bagaimana kabar kau disana? Masih adakah hewan-hewan yang kau jadikan sasaran salah suntik. Aku disini sehat. Mama masih suka mabuk kalau kitorang ajak naik kapal. Sedangkan si Papa suka dengan hobi barunya, main game.
Duapuluh lima tahun sangat lama kita tak bertemu. Wajah kau pasti sudah berubah. Apalagi saat kau mengenakan jas putih dokter itu. Apa kabarnya juga Papa Marlyn dan Mama Tessa? Masih suka muntah-muntah kah kalau melihat darah? Kapan-kapan kau ajak lah mereka ke tempatku. Nanti aku antar ke Liberty Statue. Kita sama-sama lihat matahari terbenam. Walaupun warnanya tak sejingga matahari di Kaguan.
Alf, kitorang sekarang sudah bisa pegang awan. Aku cari-cari harapan di balik awan seperti kata Opa Kaguan dulu, tapi tak ada. Awan itu dingin Alf. Kitorang coba mau bawa pulang awan. Tapi awannya hilang di jalan. Benar juga kata Opa. Awan akan tetap terbang ke atas angkasa membawa harapan. Harapanku mau bawa awan sebagai oleh-oleh Mama. Tapi Mama malah minta daun ubi. Susah sekali cari daun ubi di sini. Rindu dia ingin masak makanan yang biasa dulu.
Kitorang baru saja menatap foto Sumba Timur Alf. Kitorang dapat kiriman dari Opa Martin. Tak ada yang berbeda dari sana. Masih ada bukit savana yang sering kita lewati saat sekolah. Tapi sekarang ada sebuah jembatan baru yang dibuat ke arah Kaguan. Jadi anak-anak disana tak perlu susah payah mendaki bukit lagi. Kaguan malam juga tak gelap lagi. Listrik sudah masuk disana. Kaguan sekarang ramai.
Saat kitorang melintas di atas Sumba Timur, kitorang melihat Kaguan begitu kecil. Atap-atap rumah sudah tak tampak lagi. Beda saat kitorang melihat dari atas bukit savana. Kitorang rindu Kaguan Alf. Kitorang ingin mandi  di air terjun Papuyu seperti dulu. Kitorang ingin menyapa hewan dan tumbuhan hutan yang biasa menemani kita dulu.
Kitorang sudah punya email baru tapi kitorang tak terbiasa kirim pesan pakai email. Disini semua sudah pakai email, cuma kitorang sendiri yang masih pakai surat. Kitorang tak bisa lupa jasa Ibu Nani ajarkan kita baca dan tulis pakai pena sampai sekarang. Oh iya, kitorang juga rindu dia. Kitorang juga sangat rindu kau Alf.
Alf jangan lupa balaslah suratku ini. Kalau kau tak biasa menulis lagi, pakai email juga tak masalah. Kirimkan ke jonathan.mathius@airbus.com. Kitorang tunggu kau Alf. Kitorang ingin mengajak kau keliling benua pakai pesawat baru kitorang punya.

St. John F.F. Kennedy No.01, United States
Sahabatmu,
Jojo
Jonathan Mathius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar