Check this !!

Rabu, 06 Agustus 2014

RAILWAYS


 
 
Copenhagen, September 4th 2013

            Autumn. Hari pertama gue menginjakkan kaki di kota ini. Salah satu kota tercantik di Eropa Utara dengan luas 43 ribu kilometer persegi, berpenduduk 5 juta jiwa. Gak ada bedanya dengan Jakarta. Sepi di tengah hiruk-pikuk penikmat nuansa ibu kota. Di kota ini, gak ada satupun orang yang kenal gue, yaa tempat yang cocok untuk melarikan diri, kata Mama.
            Gue diungsikan ke ibu kota lain, Kopenhagen, Denmark. Jauh dari rumah yang sekarang udah disita oleh bank karena Papa-Mama pailit. Kalo boleh milih, gue lebih seneng diungsikan ke daerah terpencil, Papua misalnya. Mungkin gue akan diadopsi oleh masyarakat suku Dani, diterima menjadi bagian dari keluarga mereka yang primitif, yang masih bisa mengandalkan satu sama lain. I really wish.
            Apa bukan ‘membuang’ namanya. Sendirian di negeri antah-berantah, anak satu-satunya, remaja, cewek, 17 tahun. Sudahlah, hidup ini kadang punya jalannya masing-masing. Entah harus berapa ratus derai airmata yang menghantarkan kepergian gue setelah tamat SMA. Baru aja gue niup lilin sweet seventeen kemarin, lilin terkahir gue di Indonesia.
            Papa-Mama terlalu sibuk bahkan untuk sekedar meninjau tempat tinggal gue disini. Entah-lah, gue cuma dibekalin sekoper pakaian, visa, iphone, dan credit card. Ohiya, satu lagi, catatan kecil tentang sebuah alamat relasi Papa waktu tugas di Denmark, Hammerichsgade. Gue sama sekali gak pernah protes pada mereka. Kadang menyakitkan rasanya, huff, hidup gue.
            Gue keluar dari Bandara Kopenhagen, menyetop taksi, dan duduk tenang dibelakang. Sopir disini sudah terlatih menggunakan bahasa inggris, kita gak perlu kursus bahasa Dansk dulu untuk bisa tinggal disini. This is Europe, man. Everything gonna be easy if you have money.
“Excuse me, Miss.. where did we going to?”
            Terhitung sudah tiga kali lelaki paruh baya berkumis tipis itu bertanya. Gue cuma hening. Sudah gue bilang, gue gak punya tujuan. Gue gak punya Papa-Mama yang bakal marahin gue kalo gue pulang telat. Gue gak punya Mbah Kakung atau Mbah Putri yang bakal khawatir setengah mati kalo gue belom nyampe rumah waktu langit mulai kuning. Gue gak punya abang yang bakal nelpon gue setiap menit kalo gue hilang dari pengawasannya. Gue gak punya.
“Can we going to follow that’s railways?”
            Gue menjawab asal. Waktu mobil ini berhenti di depan palang pintu kereta api. Berderet gerbong apik yang desainnya unik melintas. Gue membuka jendela mobil. Menatap ke hulu, asal kereta itu datang, mengikuti setiap liuk rel sampai ke hilir, membuat gue menggeser tempat duduk ke arah jendela sisi sebelah. Seperti kereta api yang selalu berjalan di atas rel-nya, kisah klasik gue. Mereka gak akan bisa jalan kalo keluar dari jalurnya. Menimpakan harapan pada stasiun yang mengatur perjalanannya, mengubah rutenya.
“Sure, anything’s make you interested, Miss”
            Mobil melaju ringan, kadang tak persis mengikuti liuk rel kereta. Sesekali gue mendongak ke luar kaca jendela. Tiba di pertengahan kota, ah jantung kota tepatnya, pandangan gue gak lepas lagi. Disini, gedung-gedung berjajar rapi mengarah ke jalan raya. Sama halnya dengan jalan ini, jalan raya yang raya. Jalan raya yang digunakan semestinya, bukan hanya untuk kuda-kuda besi dan penunggang bermotornya, tapi juga untuk sepeda, dan pejalan kaki. Begitu tertib, teratur, dan sibuk. Sibuk dengan urusan masing-masing.
            Bahkan dunia ini tak akan tahu, seorang gadis kecil bermata cokelat mengendarai taksi seorang diri di tengah kota, tanpa teman. Gue. Menggunakan jaket bludru coklat muda hangat padu padan legging hitam dan boot cokelat senada setengah betis, cocok dengan musim gugur yang berangin. Gue bersyukur gak salah kostum.
“Here’re go, welcome to Kobenhavens Hovedbanegard”
“Thank you”
            Taksi berhenti di depan gerbang bersusun bata yang besar. Gue membayar sesuai argo dengan beberapa krona yang sebelumnya gue tuker di money changing. Dengan telaten sopir itu mengeluarkan koper gue dari dalam bagasi mobil. Gue membuka pintu belakang taksi. Menatap sekeliling. Mengerjap. Gue udah berada di dunia berbeda.
            Sopir taksi yang ramah. Ia memberikan gue sebuah kartu bertuliskan Copenhagen Guide Card, berisi peta kota, tempat wisata, penginapan, pos polisi, jalan, dan jalur kereta. Berdasarkan benda ini, gue yakin bahwa gerbang bersusun bata di depan gue adalah sebuah pintu masuk stasiun kereta api utama kota, Kobenhavens Hovedbanegard. Stasiun kereta terbesar, induk dari jalur kereta yang gue ikutin tadi. Pengendali dan pengatur arah. Stasiun ini juga memiliki kereta bawah tanah dengan sepuluh line. Amazing.
            Masih dengan meneteng koper cokelat tanpa tujuan. Gue berjalan membelah gerbang ini. Di dalam sudah begitu ramai. Mata gue mulai mencari-cari pos informasi di setiap sudut ruangan. Hasilnya nihil. Gue lupa, ini bukan Gambir yang gue hafal setiap retak lantainya. Ini negara orang. Asing. Yang gak pernah gue singgahi.
            Gue mutusin untuk bertanya pada orang yang akan lewat di depan gue nantinya, random. Sepuluh menit berlalu, hasilnya masih nihil. Gue beranjak. Mencoba berbicara pada orang yang kebetulan lewat di depan gue, susahnya sama seperti tersesat di planet luar angkasa. Seolah-olah gak ada yang ngerti dengan bahasa yang gue ucapin. Bahkan ada yang menatap aneh tanpa mengucapkan sepatah kata-pun sebelum pergi. Dasar lembaga TOEFL gak berakreditasi, hasil tes kemarin katanya gue udah lulus, cukup buat berinteraksi dengan masyarakat luar negeri. Kalo gini kan sama aja gue kesasar.
            Harapan terakhir gue pada orang yang berdiri di dekat tiang lampu itu. Pria dengan jaket kulit abu-abu tebal, memegang segelas kopi yang asapnya mengepul di tangan kanan, sementara tangan kirinya bersembunyi di kantung celana. Sesekali kepalanya mendongak ke kekiri dan ke kanan, tampaknya sedang menunggu sesuatu. Pria yang agak aneh. Padahal ada bangku kayu yang kosong di dekatnya.
            Kaki gue melangkah. Mendekati pria asing itu. Ia tetap berdisi di sana, seolah tak terganggu dengan kehadiran gue sama sekali. Bahkan ketika gue meletakkan koper di sampingnya. Dia hanya menatap gue hambar. Ahh sudahlah, gue kan cuma mau nanya. Gue menunjuk sebuah tempat di kartu wisata dan menyodorkan padanya. Asal saja. Kastil Frederiksburg.
“Excuse me, i’m looking for...”
“Kamu dari Indonesia?”
            Gue terkejut. Pria ini bisa menggunakan bahasa Indonesia di tengah benua nan jauh dari negara asal bahasanya. Sedikit lega. Setidaknya ada yang akan mengerti soal ucapan gue. Sejurus gue yang membetulkan topi bulat merah gue, mendongak untuk mentatap wajahnya lebih jelas. Yaa, tingginya melebihi ukuran tinggi badan gue. Itu-pun gara-gara gue gak mau ngomong sama lehernya.
“Jakarta, gue baru dateng dua jam lalu..”
“Hahaha, transit ibu kota ya.. gue Nathan, Nathan Adhi Habibie, Jakarta”
            Pria ini tersenyum ramah. Seramah tatanan adat masayarakat Indonesia. Tangan kanannya terulur setelah memindahkan gelas kopi yang ia pegang tadi ke tangan kiri. Gue segera menjabat tangan itu. Hangat. Bekas kopi. Hangatnya menjalar sampai ke pipi gue. Sekarang, ganti wajah gue yang bersemu merah.
“Alie, Natalie Raini Gutawa”
“Siapanya Gita Gutawa?”
            Gue tersenyum lepas. Senyum pertama gue di kota ini. Masih dalam dekap hangat tangan kanan milik pria pemegang kopi, Nathan. Nama pertama yang gue kenal, di kota ini. Suku kata pertama yang sama dengan gue Nat-, kalo bener, dia lahir pada musim dingin. Sama seperti gue. atau mungkin tanggal lahir kita sama.
“Tetangga jauhnya, kalo lo.. siapanya Pak Habibie?”
“Gue tetangga fansnya Pak Habibie”
            Timpal gue asal-asalan. Nathan balas tertawa sambil melepaskan pegangan tangannya. Gayanya sok cool dengan tangan di kantung celana. Gue salah, dia emang cool kok. Kami tertawa bersama-sama. Mendengar jawaban Nathan yang lebih asal-asalan. Sama koplak-nya dengan gue. Temen satu bangsa, milik gue. Gue baru inget sesuatu.
“Ohiya, lo tahu tempat ini?”
            Gue nunjukkin kertas bekal dari Papa. Sebuah tempat yang asing di telinga gue. Gue juga ragu mau menyebut namanya. Nathan mendekat untuk melihat lebih jelas. Mulutnya membaca tulisan di kertas itu. Nathan tersenyum.
“Penginapan Hammerichsgade.. ini 20 kilometer dari Bandara Kopenhagen”
“Ohya? Kelewatan dong gue?”
“Tenang, cuma sepuluh menit kok dari tempat gue, kita jalan bareng aja”
“Terimakasih”
            Pertama kali ketemu Nathan, gak ada keraguan dari gue. Entah mengapa, gue ngerasa aman. Apalagi dia bilang kalo dia berasal dari Jakarta. Dia juga tahu Gita Gutawa dan bangganya, dia juga gak ngelupain Pak Habibie. Cowok ini, ngingetin gue sama rumah.


Copenhagen, December 4th 2013

            Winter. Hari ke-empat pertama di musim dingin. Salju mulai turun. Pendiri kota ini Sevend Tveskae, 1013 tahun yang lalu. Yaa, termasuk kota tua yang ada di dunia. Kopenhagen sudah mengalami revolusi di setiap detailnya. Tapi dia tetap kokoh. Memugar sejarah yang hingga kini, diam-diam mulai gue kagumi.
“Ntar kalo lo mau ke Swedia, tinggal lewat jembatan itu aja, namanya Oresund Bridge”
            Salah satunya. Menorehkan kisah tentang seorang Nathan. Nathan Adhi Habibie. Mahasiswa full scoolarship Indonesia. Percaya umurnya? Baru lewat tujuh belas kayak gue. Gue menemukan hal lain dari diri Nathan. Hal yang membuat gue gak akan ngelupain kota ini.
“Tunggu sebentar ya..”
            Gue duduk di bangku kayu luar gerbang bata stasiun. Rencananya Nathan akan ngajak gue ke beberapa kastil ternama di Kopenhagen. Kronborg Slot (Kastil Kronborg), terletak di Helsingor, ditempuh dengan perjalanan naik kereta dari stasiun utama. Ada lagi, Legoland, dengan jarak sekitar 270 kilometer dari Kopenhagen. Atau kita bisa ngunjungin Kastil Frederiksburg. Kastil yang gue lihat di Copenhagen Guide Card.
            Setengah jam Nathan gak juga kembali. Atau jangan-jangan dia pingsan, di culik, di sekap, atau.. ah harusnya gue ngawatirin diri gue sendiri ketimbang dia yang udah lama di sini. Gue langsung masuk. Mencari-cari sosok Nathan diantara ribuan orang yang selalu memadati stasiun ini. Siang-malem gak pernah sepi.
            Itu dia, syal-nya yang khas. Selalu dipakai di setiap musim. Nathan sedang berdiri di depan gerbong kereta api. Tempat yang sama saat pertama kali gue ketemu dia musim gugur lalu. Lagi-lagi dia membiarkan bangku kayu di sampingnya kosong begitu saja. Entah apa yang sedang dilakukannya. Gue cuma ngamatin dia dari jauh.
            Ada kalanya seseorang ingin sendiri. Menikmati waktu miliknya sendiri. Menikmati detik pemburu yang takkan pernah kembali. Membiarkan angin membawa perasaan sarat yang tak terdefinisikan kecuali oleh sang pencipta, pemilik jiwa.
            Nathan berbalik. Menuju ke arah gerbang stasiun. Dia mungkin terkejut melihat gue berdiri menyambutnya. Hal yang sangat aneh menurut gue. Gue berjalan cepat dan kini memeluknya. Merangkul dengan selebar tangan gue. Menjangkau punggungnya sebisa mungkin. Membiarkan sedikit saja perasaan itu mengalir di dalam darah gue. Merasakan hal yang membuat matanya dirundung sendu. Nathan gak ngelepasin pelukan gue.
            Dalam perjalan menuju Kastil Frederiksburg di Hillerod Kopenhagen Utara, kisah cowok bermata cokelat ini terbagi. Sesuatu yang sensitif. Yang gak sembarang orang bisa tahu. Kisah yang terlalu pedih untuk dikenang ulang. Yang tidak akan pernah dimengerti karena ini adalah ikatan ruang-waktu antar orang terkasih.
“Ayah gue tentara perdamaian PBB”
            Alasan kenapa Nathan gak duduk di bangku kayu stasiun waktu itu, karena bokapnya. Seorang tentara perdamaian PBB yang berangkat ke Berlin, Jerman. Saat pecah perang antara Jerman barat dan timur waktu itu, PBB mengirimkan Kolonel Adhi Habibie untuk mengawal penandatangan perjanjian damai kedua-belah pihak.
            Nathan mengantarkan kepergian ayahnya di stasiun ini. Tepat sepuluh tahun lalu. Peluk ayahnya masih terasa hangat. Sentuhannya masih membayangi setiap mimpi bocah kecil berumur tujuh tahun waktu ini. Hingga sekarang, bau tubuhnya kentara. Hanya raga yang tak lagi terlihat. Menyisakan luka mendalam yang amat pedih. Air mata Nathan menetes.
“Sejak itu, Ayah gue gak pernah kembali”
            Gue pernah baca sejarah. Perjanjian itu batal. Kedua wilayah satu rumpun itu saling serang. Peperangan kali itu menewaskan semua anggota PBB yang diutus sebagai delegasi. Tak terkecuali oleh tentara masing-masing kubu. Tak terhitung nyawa menjadi korban kereziman penguasa. Kisah klasik yang gue gak nyangka ternyata.. itu benar-benar terjadi.
“Ayah selalu pesen, gue harus selalu berdiri tegak, sesulit apa-pun masalah yang akan kita hadapi, sekeruh apa-pun kondisi yang kita alami.. gue berharap Ayah bisa kembali"
“itu sebabnya lo selalu berdiri di Kobenhavens Hovedbanegard?”
“setiap hari ke-empat di awal musim”
            Gue menyentuh pundak Nathan. Memberikan secercah cahaya yang gak banyak. Gue gak punya sentuhan ajaib atau sesuatunya. Gue cuma punya keyakinan. Sesuatu akan terasa lebih indah saat kita berbagi. Suka maupun duka. Hal yang gue pelajari dari perjalanan gue kali ini. Hal yang selama ini ngebuat gue tutup mata dan telinga.
“Lo mau nemenin gue gak?”
“Kalo boleh”
            Nathan tersenyum.


Copenhagen, March 4th 2014

            Spring. Hari ini, hari ke-empat di awal musim semi. Setengah jam gue nemenin Nathan berdiri di railway yang gak pernah sepi. Tepat pula setengah tahun gue berada di kota ini, bersama Nathan. Ada banyak sudut kota yang sayang kalo dilewatin. Gue gak tahu apakah gue akan berada disini selamanya. Mungkin terjadi. Mungkin juga tidak. Gue perpegangan pada pundak Nathan. Kami menyewa sepeda dengan jaminan 30 krona. Tanpa batasan waktu, kami berkeliling Kopenhagen, sekali lagi.
“Udah siap?”
“Siap!!”
            Tempat pertama, gak terlalu jauh dari penginapan. Sebuah jalan dengan nuansa arsitektur abad pertengahan. Gedung-gedung seperti ini, ngingetin gue kayak kota tua di Jakarta. Namanya Jalan Vester Brogade. Bangunannya sengaja dibuat retro. Seolah tidak terawat. Namun disitulah letak uniknya.
            Nathan memakirkan sepeda di sisi ruas Jalan H.C. Anderson. Pendongeng legendaris itu. Menciptakan begitu banyak mahakarya yang tersohor ke penjuru dunia. Di taman Radlum Pladsen ini patungnya berdiri kokoh. Menghampar luas di alun-alun yang mirip ladang merpati. Nathan ngajak gue main sama merpati. Hal konyol yang gue suka.
            Ia membeli berondong jagung di gerobak pinggir taman. Mengambil segenggam. Menirukan suara aneh untuk memancing merpati dateng. Voillaa, kini beberapa merpati mengerumuni Nathan. Mematuk-matuk tangannya yang penuh dengan makanan lezat. Nathan melambaikan tangannya ke arah gue. Gue mengikutinya dari belakang.
            Perasaan ini muncul lagi. Selalu ada ketika gue deket dengan Nathan. Entah harus disebut apa. Rasa nyaman ini belum pernah gue dapetin dimanapun. Dia gak pernah mendikte jalan gue. Kemana harus gue melangkah. Kemana harus gue berhenti. Dia ada depan gue buat nunjukkin arah. Dia ada di belakang gue buat ngasih gue semangat dan ngedukung gue. Dia ada di samping gue, tempat gue bersandar kalo gue lelah. Dia ada di hati gue.
            Nathan sudah berdiri di depan gue. Matanya meneduhkan. Dia membenarkan topi merah favorit gue. Gue balas membenarkan syal-nya. Kami berdiri bersamaan, tiba di Jalan Fr. Breggade yang terkenal di kalangan anak muda Kopenhagen. Jalan sepanjang 300 meter ini menawarkan berbagai pernak-pernik hiasan kota. Mulai dari kafe, distro, pusat perbelanjaan, tempat-tempat romantis dan eksotis.
            Gue tertarik pada kios penjual topi yang ada di sebrang jalan. Kayaknya macem-macem. Mulai dari topi bulat seperti favorit gue satu ini, topi tentara, topi koplo, topi pantai, ada juga yang mirip caping. Sekonyong-koyong gue berjalan ke sana. Tanpa melihat segerombolan anak-anak bersepeda menerobos dari samping kiri. Untungnya Nathan gesit.
            Topi gue melayang. Jatuh di tengah jalan, melintasi zebra cross. Nathan menarik tangan gue, mengisyaratkan gue untuk menunggu. Ia segera mengambil topi gue dan bergegas kembali. Mukanya dibikin jutek. Marah. Karena gue gak hati-hati tadi. Gue cuma bisa senyum, memasang tampang cute, dan membentuk pose peace dengan dua jari kanan.
            Nathan memasangkan topi gue. Ia turut berhenti saat tanpa sengaja bertemu tangan gue di ujung topi. Detik ini, gue ngerasa waktu juga berhenti. Saat ini jarak antara gue dan Nathan semakin deket. Kami menurunkan tangan bersamaan.
“Dingin?”
            Gue menggeleng. Nathan hanya tersenyum. Ia membenarkan syal gue. Detik ini, gue ngerasa waktu berhenti lagi, lebih lama. Sesaat tangan hangat Nathan menyentuh pipi gue yang kemerahan. Gue menutup mata waktu wajah Nathan mendekat, meraih pinggang gue, dan mencium bibir gue. Di tengah jalanan kota yang belum sepi.


Copenhagen, June 4th 2014

            Summer. Hari ke-empat di awal musim panas. Gue nemenin dia berdiri di depan gerbong. Musim terkahir gue di kota yang mulai gue cintai ini. Terlebih karena ada Nathan. Bisnis Mama Papa udah mulai berjalan. Rumah kami di Jakarta sudah bebas dari sitaan bank. Saatnya gue kembali ke kehidupan gue, bersama bibi di rumah, tanpa Mama, tanpa Papa. Rasanya gue gak mau balik lagi ke Indonesia. I wish.
            Tour terkahir gue bersama Nathan. Guide gue yang dengan setia ngelidungin gue, ngajarin gue, dan membuat hidup gue gak pernah sepi. Kami berjalan kaki ke arah utara. Tivoli Garden. Taman terkahir yang akan kami kunjungi. Gue berdiri melonggarkan kerah baju, sementara Nathan sibuk mengantri di gerobak ice cream pinggir jalan.
            Sundae ice cream yang dingin untuk musim panas. Gue menepuk tangan dengan begitu ceria. Nathan membawa dua cup, satu untuk gue, dan satunya untuk gue. Karena cuaca sedang cerah, jadilah gue ngasih satu cup itu ke Nathan. Haha. Persis anak pertengahan umur sepuluh, kami berjalan ke arah taman sambil menjilat ice cream.
            Nathan mengenggam tangan gue. Gue menolah. Dia masih asyik menjilat ice cream-nya. Kalo boleh gue minta, gue gak mau ngelepasin tangan Nathan. Tangan yang menangkap gue saat gue jatuh. Tangan yang dulu pertama kali menyambut gue hangat di kota ini. Kali ini saja, gue gak mau ngelepasin tangan ini. Tangan Nathan gue genggam erat.
            Taman begitu ramai. Seperti biasa. Nathan mengajak gue berkeliling setiap sudut taman yang sudah pasti dia hafal mati. Melihat koleksi bunga-bunga yang cantik dan semerbak. Melihat aneka satwa khas Eropa. Melihat benda-benda yang sering ada di TK. Ayunan, jungkat-jungkit, warna-warni. Melihat pemusik Scottish sedang berpawai ria membawa benda-benda yang belum pernah gue lihat sebelumnya.
            Kami mampir ke sebuah rumah tua untuk mencuri kunci. Nathan bilang, setiap kunci memiliki kekuatan ajaib untuk mengabulkan permintaan kita. Alhasil, kami berlari kencang sekuat tenaga karena dikejar-kejar pemilik rumah. Gue gak bisa ngedapetin kunci itu. Nathan berlagak dengan muka sombong. Ia membuka telapak tangan. Ada dua kunci disitu. Satu untuk gue, dan satunya bukan untuk gue, untuk Nathan.
            Kunci ini punya kekuatan magic. Kalo kita lempar ke dalam air dari atas jembatan sambil membuat permohonan, maka permohonan kita akan terkabul. Gue cuma bisa mengikuti Nathan. Menggenggam kunci dengan kedua tangan. Menutup mata. Mengucapkan permintaan dalam hati. Gue cuma gak mau Nathan ngelupain gue. Permohonan gue. Gue gak tau apa yang Nathan minta. Gue gak pernah tau.
            Langit Kopenhagen mulai menguning. Kami mematut diri di atas air, dari jembatan kecil tempat membuat permohonan tadi. Masing-masing sibuk dengan pemikirannya. Gue dengan hari ini, perpisahan gue dengan kota ini dan dengan Nathan. Sementara Nathan, gue berharap dia bener-bener gak akan ngelupain gue.
“Jadi, lusa lo bakal balik ke Jakarta?”
“Mm..”
            Diperjelas Nathan. Sesuatu yang membuat gue gak bisa tidur tenang beberapa malam ini. Gak ada kata lanjutan dari Nathan. Sampai tertular ke gue. Waktu berjalan cepat. Senja telah melanda kota ini. Senja terakhir bersama Nathan. Momen yang pas untuk membuat pengakuan. Gue narik napas agak dalem.
“i’m falling in love..”
“Ohya?”
“i’m falling in love with...”
            Gue gak nerusin kata-kata gue. Lidah gue terlalu keluh. Pipi gue bersemu merah. Sepanas musim kali ini. Apa gue mesti bilang sekarang. Apa gue sudah boleh jujur tentang perasaan gue. Apa gue akan kembali pada hari ini. Apa gue sanggup melupakan Nathan kalo gue harus berpisah saat ini. Apa gue memang harus balik ke Jakarta karena sms Mama. Musim panas ini, akan jadi musim perpisahan gue lagi. Can i say, i hate summer from now?
“sama siapa?”
“... someone..”
“Scottish or Indonesian?”
            Pertanyaan bodoh. Siapa lagi cowok yang gue kenal di kota ini selain lo. Masa iya gue suka sama sopir taksi yang nganterin gue ke stasiun waktu itu. Gue jatuh cinta sama lo. Cuma... yaa gak ada cuma. Gue gak nyalahin lo kalo lo gak tau. Emang gue belom ngasih tau. Gue ragu. Perasaan gue atau ini perasaan kita.
“Indonesian”
            Jawab gue tanpa ragu, akhirnya. Lo akan berdiri sejajar dengan dengan bangunan tua dan kastil-kastil yang ada di kota ini, di negara ini. Lo akan ada di album kenangan gue. Lo akan selalu jadi cover di setiap penjelajahan gue. Khususnya apa yang udah lo berikan ke gue. Sebuah cinta dan sebuah harapan.
“Gue juga jatuh cinta”
            Gue berpaling. Memandang Nathan dengan sejuta tanya. Gadis mana yang membuatnya tergugah. Mampu mengakui perasaan transparan yang selama ini belum pernah ditunjukkannya, khusunya pada gue. Menggelitik gue untuk memberondong sejumlah pertanyaan.
“sama siapa?”
“sama kota ini.. hahaha”
            Gue memutar bola mata. Nathan, dasar. Kalo gitu, gue juga udah lama jatuh cinta pada kota ini. Kota pengasingan gue. Dimana gue belajar bagaimana menghargai hidup gue. Bagaimana mengikuti angin untuk mencari arah. Menemukan alasan mengubah rel hidup gue. Dan tentunya, gue menemukan lo disini, di Kopenhagen.
“sama seseorang..”
“Scottish or Indonesian?”
            Timpal gue menirukan gaya bicaranya tadi. Persis. Nathan menoleh. Ia tersenyum manis dan membenarkan topi merah gue. Lagi-lagi gue cuma memandangi dia dari sudut mata. Dari sini, di dalam hati, di dalam diam. Kembali menatap lurus di depan. Dari atas jembatan bata kecil yang melintasi arus air tengah kota. Kobenhavens Hovedbanegard yang dikelilingi railways-nya terlihat jelas dari sini. Diam-diam memiliki. Diam-diam takut kehilangan. Nathan menjawab mantap.
“Indonesian”

3 komentar:

  1. entah kenapa saya suka lagunya David Cook - Always Be My baby (kayaknya). Padahal baru pertama denger, auto play blog ini. :D
    *eh

    BalasHapus
    Balasan
    1. haii haris,
      suka lagunya yaa?? iyaa pelan-pelan suka suka lagunya, ntar suka blognya, ntar suka penulisnya wkwk :D

      Hapus