Copenhagen, September 4th 2013
Autumn. Hari pertama gue
menginjakkan kaki di kota ini. Salah satu kota tercantik di Eropa Utara dengan
luas 43 ribu kilometer persegi, berpenduduk 5 juta jiwa. Gak ada bedanya dengan
Jakarta. Sepi di tengah hiruk-pikuk penikmat nuansa ibu kota. Di kota ini, gak
ada satupun orang yang kenal gue, yaa
tempat yang cocok untuk melarikan diri, kata Mama.
Gue
diungsikan ke ibu kota lain, Kopenhagen, Denmark. Jauh dari rumah yang sekarang
udah disita oleh bank karena
Papa-Mama pailit. Kalo boleh milih, gue lebih seneng diungsikan ke daerah
terpencil, Papua misalnya. Mungkin gue akan diadopsi oleh masyarakat suku Dani,
diterima menjadi bagian dari keluarga mereka yang primitif, yang masih bisa mengandalkan
satu sama lain. I really wish.
Apa
bukan ‘membuang’ namanya. Sendirian di negeri antah-berantah, anak
satu-satunya, remaja, cewek, 17 tahun. Sudahlah, hidup ini kadang punya
jalannya masing-masing. Entah harus berapa ratus derai airmata yang menghantarkan
kepergian gue setelah tamat SMA. Baru aja gue niup lilin sweet seventeen kemarin, lilin terkahir gue di Indonesia.
Papa-Mama
terlalu sibuk bahkan untuk sekedar meninjau tempat tinggal gue disini. Entah-lah,
gue cuma dibekalin sekoper pakaian, visa, iphone,
dan credit card. Ohiya, satu lagi,
catatan kecil tentang sebuah alamat relasi Papa waktu tugas di Denmark, Hammerichsgade. Gue sama sekali gak
pernah protes pada mereka. Kadang menyakitkan rasanya, huff, hidup gue.
Gue
keluar dari Bandara Kopenhagen, menyetop taksi, dan duduk tenang dibelakang.
Sopir disini sudah terlatih menggunakan bahasa inggris, kita gak perlu kursus
bahasa Dansk dulu untuk bisa tinggal
disini. This is Europe, man. Everything
gonna be easy if you have money.
“Excuse me, Miss.. where did we going to?”
Terhitung
sudah tiga kali lelaki paruh baya berkumis tipis itu bertanya. Gue cuma hening.
Sudah gue bilang, gue gak punya tujuan. Gue gak punya Papa-Mama yang bakal
marahin gue kalo gue pulang telat. Gue gak punya Mbah Kakung atau Mbah Putri
yang bakal khawatir setengah mati kalo gue belom nyampe rumah waktu langit
mulai kuning. Gue gak punya abang yang bakal nelpon gue setiap menit kalo gue
hilang dari pengawasannya. Gue gak punya.
“Can we going to follow that’s railways?”
Gue
menjawab asal. Waktu mobil ini berhenti di depan palang pintu kereta api. Berderet
gerbong apik yang desainnya unik melintas. Gue membuka jendela mobil. Menatap
ke hulu, asal kereta itu datang, mengikuti setiap liuk rel sampai ke hilir,
membuat gue menggeser tempat duduk ke arah jendela sisi sebelah. Seperti kereta
api yang selalu berjalan di atas rel-nya, kisah klasik gue. Mereka gak akan
bisa jalan kalo keluar dari jalurnya. Menimpakan harapan pada stasiun yang
mengatur perjalanannya, mengubah rutenya.
“Sure, anything’s make you interested, Miss”
Mobil
melaju ringan, kadang tak persis mengikuti liuk rel kereta. Sesekali gue
mendongak ke luar kaca jendela. Tiba di pertengahan kota, ah jantung kota tepatnya, pandangan gue gak lepas lagi. Disini,
gedung-gedung berjajar rapi mengarah ke jalan raya. Sama halnya dengan jalan
ini, jalan raya yang raya. Jalan raya yang digunakan semestinya, bukan hanya
untuk kuda-kuda besi dan penunggang bermotornya, tapi juga untuk sepeda, dan
pejalan kaki. Begitu tertib, teratur, dan sibuk. Sibuk dengan urusan
masing-masing.
Bahkan
dunia ini tak akan tahu, seorang gadis kecil bermata cokelat mengendarai taksi
seorang diri di tengah kota, tanpa teman. Gue. Menggunakan jaket bludru coklat
muda hangat padu padan legging hitam dan
boot cokelat senada setengah betis,
cocok dengan musim gugur yang berangin. Gue bersyukur gak salah kostum.
“Here’re go, welcome to Kobenhavens Hovedbanegard”
“Thank you”
Taksi
berhenti di depan gerbang bersusun bata yang besar. Gue membayar sesuai argo
dengan beberapa krona yang sebelumnya
gue tuker di money changing. Dengan
telaten sopir itu mengeluarkan koper gue dari dalam bagasi mobil. Gue membuka
pintu belakang taksi. Menatap sekeliling. Mengerjap. Gue udah berada di dunia
berbeda.
Sopir
taksi yang ramah. Ia memberikan gue sebuah kartu bertuliskan Copenhagen Guide Card, berisi peta kota,
tempat wisata, penginapan, pos polisi, jalan, dan jalur kereta. Berdasarkan
benda ini, gue yakin bahwa gerbang bersusun bata di depan gue adalah sebuah
pintu masuk stasiun kereta api utama kota, Kobenhavens
Hovedbanegard. Stasiun kereta terbesar, induk dari jalur kereta yang gue
ikutin tadi. Pengendali dan pengatur arah. Stasiun ini juga memiliki kereta
bawah tanah dengan sepuluh line. Amazing.
Masih
dengan meneteng koper cokelat tanpa tujuan. Gue berjalan membelah gerbang ini.
Di dalam sudah begitu ramai. Mata gue mulai mencari-cari pos informasi di
setiap sudut ruangan. Hasilnya nihil. Gue lupa, ini bukan Gambir yang gue hafal
setiap retak lantainya. Ini negara orang. Asing. Yang gak pernah gue singgahi.
Gue
mutusin untuk bertanya pada orang yang akan lewat di depan gue nantinya, random. Sepuluh menit berlalu, hasilnya
masih nihil. Gue beranjak. Mencoba berbicara pada orang yang kebetulan lewat di
depan gue, susahnya sama seperti tersesat di planet luar angkasa. Seolah-olah
gak ada yang ngerti dengan bahasa yang gue ucapin. Bahkan ada yang menatap aneh
tanpa mengucapkan sepatah kata-pun sebelum pergi. Dasar lembaga TOEFL gak berakreditasi, hasil tes
kemarin katanya gue udah lulus, cukup buat berinteraksi dengan masyarakat luar
negeri. Kalo gini kan sama aja gue kesasar.
Harapan
terakhir gue pada orang yang berdiri di dekat tiang lampu itu. Pria dengan
jaket kulit abu-abu tebal, memegang segelas kopi yang asapnya mengepul di
tangan kanan, sementara tangan kirinya bersembunyi di kantung celana. Sesekali
kepalanya mendongak ke kekiri dan ke kanan, tampaknya sedang menunggu sesuatu.
Pria yang agak aneh. Padahal ada bangku kayu yang kosong di dekatnya.
Kaki gue
melangkah. Mendekati pria asing itu. Ia tetap berdisi di sana, seolah tak
terganggu dengan kehadiran gue sama sekali. Bahkan ketika gue meletakkan koper
di sampingnya. Dia hanya menatap gue hambar. Ahh sudahlah, gue kan cuma mau nanya. Gue menunjuk sebuah tempat di
kartu wisata dan menyodorkan padanya. Asal saja. Kastil Frederiksburg.
“Excuse me, i’m looking for...”
“Kamu dari Indonesia?”
Gue
terkejut. Pria ini bisa menggunakan bahasa Indonesia di tengah benua nan jauh
dari negara asal bahasanya. Sedikit lega. Setidaknya ada yang akan mengerti
soal ucapan gue. Sejurus gue yang membetulkan topi bulat merah gue, mendongak
untuk mentatap wajahnya lebih jelas. Yaa,
tingginya melebihi ukuran tinggi badan gue. Itu-pun gara-gara gue gak mau
ngomong sama lehernya.
“Jakarta, gue baru dateng dua jam lalu..”
“Hahaha, transit ibu kota ya.. gue Nathan, Nathan Adhi
Habibie, Jakarta”
Pria ini
tersenyum ramah. Seramah tatanan adat masayarakat Indonesia. Tangan kanannya
terulur setelah memindahkan gelas kopi yang ia pegang tadi ke tangan kiri. Gue
segera menjabat tangan itu. Hangat. Bekas kopi. Hangatnya menjalar sampai ke
pipi gue. Sekarang, ganti wajah gue yang bersemu merah.
“Alie, Natalie Raini Gutawa”
“Siapanya Gita Gutawa?”
Gue
tersenyum lepas. Senyum pertama gue di kota ini. Masih dalam dekap hangat
tangan kanan milik pria pemegang kopi, Nathan. Nama pertama yang gue kenal, di
kota ini. Suku kata pertama yang sama dengan gue Nat-, kalo bener, dia lahir pada musim dingin. Sama seperti gue.
atau mungkin tanggal lahir kita sama.
“Tetangga jauhnya, kalo lo.. siapanya Pak Habibie?”
“Gue tetangga fansnya Pak Habibie”
Timpal
gue asal-asalan. Nathan balas tertawa sambil melepaskan pegangan tangannya. Gayanya
sok cool dengan tangan di kantung
celana. Gue salah, dia emang cool kok.
Kami tertawa bersama-sama. Mendengar jawaban Nathan yang lebih asal-asalan.
Sama koplak-nya dengan gue. Temen
satu bangsa, milik gue. Gue baru inget sesuatu.
“Ohiya, lo tahu tempat ini?”
Gue
nunjukkin kertas bekal dari Papa. Sebuah tempat yang asing di telinga gue. Gue
juga ragu mau menyebut namanya. Nathan mendekat untuk melihat lebih jelas.
Mulutnya membaca tulisan di kertas itu. Nathan tersenyum.
“Penginapan Hammerichsgade.. ini 20 kilometer dari
Bandara Kopenhagen”
“Ohya? Kelewatan dong gue?”
“Tenang, cuma sepuluh menit kok dari tempat gue, kita
jalan bareng aja”
“Terimakasih”
Pertama
kali ketemu Nathan, gak ada keraguan dari gue. Entah mengapa, gue ngerasa aman.
Apalagi dia bilang kalo dia berasal dari Jakarta. Dia juga tahu Gita Gutawa dan
bangganya, dia juga gak ngelupain Pak Habibie. Cowok ini, ngingetin gue sama
rumah.
Copenhagen, December 4th 2013
Winter. Hari ke-empat pertama di
musim dingin. Salju mulai turun. Pendiri kota ini Sevend Tveskae, 1013 tahun yang lalu. Yaa, termasuk kota tua yang ada di dunia. Kopenhagen sudah
mengalami revolusi di setiap detailnya. Tapi dia tetap kokoh. Memugar sejarah
yang hingga kini, diam-diam mulai gue kagumi.
“Ntar kalo lo mau ke Swedia, tinggal lewat jembatan itu
aja, namanya Oresund Bridge”
Salah
satunya. Menorehkan kisah tentang seorang Nathan. Nathan Adhi Habibie.
Mahasiswa full scoolarship Indonesia.
Percaya umurnya? Baru lewat tujuh belas kayak gue. Gue menemukan hal lain dari
diri Nathan. Hal yang membuat gue gak akan ngelupain kota ini.
“Tunggu sebentar ya..”
Gue
duduk di bangku kayu luar gerbang bata stasiun. Rencananya Nathan akan ngajak
gue ke beberapa kastil ternama di Kopenhagen. Kronborg Slot (Kastil Kronborg), terletak di Helsingor, ditempuh
dengan perjalanan naik kereta dari stasiun utama. Ada lagi, Legoland, dengan jarak sekitar 270
kilometer dari Kopenhagen. Atau kita bisa ngunjungin Kastil Frederiksburg. Kastil yang gue lihat di Copenhagen Guide Card.
Setengah
jam Nathan gak juga kembali. Atau jangan-jangan dia pingsan, di culik, di
sekap, atau.. ah harusnya gue
ngawatirin diri gue sendiri ketimbang dia yang udah lama di sini. Gue langsung
masuk. Mencari-cari sosok Nathan diantara ribuan orang yang selalu memadati
stasiun ini. Siang-malem gak pernah sepi.
Itu dia,
syal-nya yang khas. Selalu dipakai di setiap musim. Nathan sedang berdiri di
depan gerbong kereta api. Tempat yang sama saat pertama kali gue ketemu dia
musim gugur lalu. Lagi-lagi dia membiarkan bangku kayu di sampingnya kosong
begitu saja. Entah apa yang sedang dilakukannya. Gue cuma ngamatin dia dari
jauh.
Ada
kalanya seseorang ingin sendiri. Menikmati waktu miliknya sendiri. Menikmati
detik pemburu yang takkan pernah kembali. Membiarkan angin membawa perasaan
sarat yang tak terdefinisikan kecuali oleh sang pencipta, pemilik jiwa.
Nathan
berbalik. Menuju ke arah gerbang stasiun. Dia mungkin terkejut melihat gue
berdiri menyambutnya. Hal yang sangat aneh menurut gue. Gue berjalan cepat dan
kini memeluknya. Merangkul dengan selebar tangan gue. Menjangkau punggungnya
sebisa mungkin. Membiarkan sedikit saja perasaan itu mengalir di dalam darah
gue. Merasakan hal yang membuat matanya dirundung sendu. Nathan gak ngelepasin
pelukan gue.
Dalam
perjalan menuju Kastil Frederiksburg
di Hillerod Kopenhagen Utara, kisah cowok bermata cokelat ini terbagi. Sesuatu
yang sensitif. Yang gak sembarang orang bisa tahu. Kisah yang terlalu pedih
untuk dikenang ulang. Yang tidak akan pernah dimengerti karena ini adalah
ikatan ruang-waktu antar orang terkasih.
“Ayah gue tentara perdamaian PBB”
Alasan
kenapa Nathan gak duduk di bangku kayu stasiun waktu itu, karena bokapnya. Seorang
tentara perdamaian PBB yang berangkat ke Berlin, Jerman. Saat pecah perang
antara Jerman barat dan timur waktu itu, PBB mengirimkan Kolonel Adhi Habibie
untuk mengawal penandatangan perjanjian damai kedua-belah pihak.
Nathan
mengantarkan kepergian ayahnya di stasiun ini. Tepat sepuluh tahun lalu. Peluk
ayahnya masih terasa hangat. Sentuhannya masih membayangi setiap mimpi bocah
kecil berumur tujuh tahun waktu ini. Hingga sekarang, bau tubuhnya kentara.
Hanya raga yang tak lagi terlihat. Menyisakan luka mendalam yang amat pedih.
Air mata Nathan menetes.
“Sejak itu, Ayah gue gak pernah kembali”
Gue
pernah baca sejarah. Perjanjian itu batal. Kedua wilayah satu rumpun itu saling
serang. Peperangan kali itu menewaskan semua anggota PBB yang diutus sebagai
delegasi. Tak terkecuali oleh tentara masing-masing kubu. Tak terhitung nyawa
menjadi korban kereziman penguasa. Kisah klasik yang gue gak nyangka ternyata..
itu benar-benar terjadi.
“Ayah selalu pesen, gue harus selalu berdiri tegak,
sesulit apa-pun masalah yang akan kita hadapi, sekeruh apa-pun kondisi yang
kita alami.. gue berharap Ayah bisa kembali"
“itu sebabnya lo selalu berdiri di Kobenhavens
Hovedbanegard?”
“setiap hari ke-empat di awal musim”
Gue
menyentuh pundak Nathan. Memberikan secercah cahaya yang gak banyak. Gue gak
punya sentuhan ajaib atau sesuatunya. Gue cuma punya keyakinan. Sesuatu akan
terasa lebih indah saat kita berbagi. Suka maupun duka. Hal yang gue pelajari
dari perjalanan gue kali ini. Hal yang selama ini ngebuat gue tutup mata dan
telinga.
“Lo mau nemenin gue gak?”
“Kalo boleh”
Nathan
tersenyum.
Copenhagen, March 4th 2014
Spring. Hari ini, hari ke-empat
di awal musim semi. Setengah jam gue nemenin Nathan berdiri di railway yang gak pernah sepi. Tepat pula
setengah tahun gue berada di kota ini, bersama Nathan. Ada banyak sudut kota
yang sayang kalo dilewatin. Gue gak tahu apakah gue akan berada disini
selamanya. Mungkin terjadi. Mungkin juga tidak. Gue perpegangan pada pundak
Nathan. Kami menyewa sepeda dengan jaminan 30 krona. Tanpa batasan waktu, kami berkeliling Kopenhagen, sekali
lagi.
“Udah siap?”
“Siap!!”
Tempat
pertama, gak terlalu jauh dari penginapan. Sebuah jalan dengan nuansa arsitektur
abad pertengahan. Gedung-gedung seperti ini, ngingetin gue kayak kota tua di
Jakarta. Namanya Jalan Vester Brogade.
Bangunannya sengaja dibuat retro. Seolah tidak terawat. Namun disitulah letak
uniknya.
Nathan
memakirkan sepeda di sisi ruas Jalan H.C.
Anderson. Pendongeng legendaris itu. Menciptakan begitu banyak mahakarya
yang tersohor ke penjuru dunia. Di taman Radlum
Pladsen ini patungnya berdiri kokoh. Menghampar luas di alun-alun yang
mirip ladang merpati. Nathan ngajak gue main sama merpati. Hal konyol yang gue
suka.
Ia
membeli berondong jagung di gerobak pinggir taman. Mengambil segenggam.
Menirukan suara aneh untuk memancing merpati dateng. Voillaa, kini beberapa merpati mengerumuni Nathan. Mematuk-matuk
tangannya yang penuh dengan makanan lezat. Nathan melambaikan tangannya ke arah
gue. Gue mengikutinya dari belakang.
Perasaan
ini muncul lagi. Selalu ada ketika gue deket dengan Nathan. Entah harus disebut
apa. Rasa nyaman ini belum pernah gue dapetin dimanapun. Dia gak pernah
mendikte jalan gue. Kemana harus gue melangkah. Kemana harus gue berhenti. Dia
ada depan gue buat nunjukkin arah. Dia ada di belakang gue buat ngasih gue
semangat dan ngedukung gue. Dia ada di samping gue, tempat gue bersandar kalo
gue lelah. Dia ada di hati gue.
Nathan sudah
berdiri di depan gue. Matanya meneduhkan. Dia membenarkan topi merah favorit
gue. Gue balas membenarkan syal-nya. Kami berdiri bersamaan, tiba di Jalan Fr. Breggade yang terkenal di kalangan
anak muda Kopenhagen. Jalan sepanjang 300 meter ini menawarkan berbagai
pernak-pernik hiasan kota. Mulai dari kafe, distro, pusat perbelanjaan,
tempat-tempat romantis dan eksotis.
Gue
tertarik pada kios penjual topi yang ada di sebrang jalan. Kayaknya macem-macem.
Mulai dari topi bulat seperti favorit gue satu ini, topi tentara, topi koplo,
topi pantai, ada juga yang mirip caping. Sekonyong-koyong gue berjalan ke sana.
Tanpa melihat segerombolan anak-anak bersepeda menerobos dari samping kiri.
Untungnya Nathan gesit.
Topi gue
melayang. Jatuh di tengah jalan, melintasi zebra
cross. Nathan menarik tangan gue, mengisyaratkan gue untuk menunggu. Ia
segera mengambil topi gue dan bergegas kembali. Mukanya dibikin jutek. Marah.
Karena gue gak hati-hati tadi. Gue cuma bisa senyum, memasang tampang cute, dan membentuk pose peace dengan dua jari kanan.
Nathan
memasangkan topi gue. Ia turut berhenti saat tanpa sengaja bertemu tangan gue
di ujung topi. Detik ini, gue ngerasa waktu juga berhenti. Saat ini jarak
antara gue dan Nathan semakin deket. Kami menurunkan tangan bersamaan.
“Dingin?”
Gue
menggeleng. Nathan hanya tersenyum. Ia membenarkan syal gue. Detik ini, gue
ngerasa waktu berhenti lagi, lebih lama. Sesaat tangan hangat Nathan menyentuh
pipi gue yang kemerahan. Gue menutup mata waktu wajah Nathan mendekat, meraih
pinggang gue, dan mencium bibir gue. Di tengah jalanan kota yang belum sepi.
Copenhagen, June 4th 2014
Summer. Hari ke-empat di awal
musim panas. Gue nemenin dia berdiri di depan gerbong. Musim terkahir gue di
kota yang mulai gue cintai ini. Terlebih karena ada Nathan. Bisnis Mama Papa
udah mulai berjalan. Rumah kami di Jakarta sudah bebas dari sitaan bank.
Saatnya gue kembali ke kehidupan gue, bersama bibi di rumah, tanpa Mama, tanpa
Papa. Rasanya gue gak mau balik lagi ke Indonesia. I wish.
Tour terkahir gue bersama Nathan. Guide gue yang dengan setia ngelidungin
gue, ngajarin gue, dan membuat hidup gue gak pernah sepi. Kami berjalan kaki ke
arah utara. Tivoli Garden. Taman
terkahir yang akan kami kunjungi. Gue berdiri melonggarkan kerah baju,
sementara Nathan sibuk mengantri di gerobak ice
cream pinggir jalan.
Sundae ice cream yang dingin untuk musim
panas. Gue menepuk tangan dengan begitu ceria. Nathan membawa dua cup, satu
untuk gue, dan satunya untuk gue. Karena cuaca sedang cerah, jadilah gue ngasih
satu cup itu ke Nathan. Haha. Persis
anak pertengahan umur sepuluh, kami berjalan ke arah taman sambil menjilat ice cream.
Nathan
mengenggam tangan gue. Gue menolah. Dia masih asyik menjilat ice cream-nya. Kalo boleh gue minta, gue
gak mau ngelepasin tangan Nathan. Tangan yang menangkap gue saat gue jatuh.
Tangan yang dulu pertama kali menyambut gue hangat di kota ini. Kali ini saja,
gue gak mau ngelepasin tangan ini. Tangan Nathan gue genggam erat.
Taman
begitu ramai. Seperti biasa. Nathan mengajak gue berkeliling setiap sudut taman
yang sudah pasti dia hafal mati. Melihat koleksi bunga-bunga yang cantik dan
semerbak. Melihat aneka satwa khas Eropa. Melihat benda-benda yang sering ada
di TK. Ayunan, jungkat-jungkit, warna-warni. Melihat pemusik Scottish sedang berpawai ria membawa
benda-benda yang belum pernah gue lihat sebelumnya.
Kami
mampir ke sebuah rumah tua untuk mencuri kunci. Nathan bilang, setiap kunci
memiliki kekuatan ajaib untuk mengabulkan permintaan kita. Alhasil, kami
berlari kencang sekuat tenaga karena dikejar-kejar pemilik rumah. Gue gak bisa
ngedapetin kunci itu. Nathan berlagak dengan muka sombong. Ia membuka telapak
tangan. Ada dua kunci disitu. Satu untuk gue, dan satunya bukan untuk gue,
untuk Nathan.
Kunci
ini punya kekuatan magic. Kalo kita
lempar ke dalam air dari atas jembatan sambil membuat permohonan, maka
permohonan kita akan terkabul. Gue cuma bisa mengikuti Nathan. Menggenggam
kunci dengan kedua tangan. Menutup mata. Mengucapkan permintaan dalam hati. Gue cuma gak mau Nathan ngelupain gue.
Permohonan gue. Gue gak tau apa yang Nathan minta. Gue gak pernah tau.
Langit
Kopenhagen mulai menguning. Kami mematut diri di atas air, dari jembatan kecil
tempat membuat permohonan tadi. Masing-masing sibuk dengan pemikirannya. Gue
dengan hari ini, perpisahan gue dengan kota ini dan dengan Nathan. Sementara
Nathan, gue berharap dia bener-bener gak akan ngelupain gue.
“Jadi, lusa lo bakal balik ke Jakarta?”
“Mm..”
Diperjelas
Nathan. Sesuatu yang membuat gue gak bisa tidur tenang beberapa malam ini. Gak
ada kata lanjutan dari Nathan. Sampai tertular ke gue. Waktu berjalan cepat.
Senja telah melanda kota ini. Senja terakhir bersama Nathan. Momen yang pas
untuk membuat pengakuan. Gue narik napas agak dalem.
“i’m falling in love..”
“Ohya?”
“i’m falling in love with...”
Gue gak
nerusin kata-kata gue. Lidah gue terlalu keluh. Pipi gue bersemu merah. Sepanas
musim kali ini. Apa gue mesti bilang sekarang. Apa gue sudah boleh jujur
tentang perasaan gue. Apa gue akan kembali pada hari ini. Apa gue sanggup
melupakan Nathan kalo gue harus berpisah saat ini. Apa gue memang harus balik
ke Jakarta karena sms Mama. Musim panas ini, akan jadi musim perpisahan gue
lagi. Can i say, i hate summer from now?
“sama siapa?”
“... someone..”
“Scottish or Indonesian?”
Pertanyaan
bodoh. Siapa lagi cowok yang gue kenal di kota ini selain lo. Masa iya gue suka
sama sopir taksi yang nganterin gue ke stasiun waktu itu. Gue jatuh cinta sama
lo. Cuma... yaa gak ada cuma. Gue gak
nyalahin lo kalo lo gak tau. Emang gue belom ngasih tau. Gue ragu. Perasaan gue
atau ini perasaan kita.
“Indonesian”
Jawab
gue tanpa ragu, akhirnya. Lo akan berdiri sejajar dengan dengan bangunan tua
dan kastil-kastil yang ada di kota ini, di negara ini. Lo akan ada di album
kenangan gue. Lo akan selalu jadi cover
di setiap penjelajahan gue. Khususnya apa yang udah lo berikan ke gue. Sebuah
cinta dan sebuah harapan.
“Gue juga jatuh cinta”
Gue
berpaling. Memandang Nathan dengan sejuta tanya. Gadis mana yang membuatnya
tergugah. Mampu mengakui perasaan transparan yang selama ini belum pernah
ditunjukkannya, khusunya pada gue. Menggelitik gue untuk memberondong sejumlah
pertanyaan.
“sama siapa?”
“sama kota ini.. hahaha”
Gue
memutar bola mata. Nathan, dasar. Kalo gitu, gue juga udah lama jatuh cinta
pada kota ini. Kota pengasingan gue. Dimana gue belajar bagaimana menghargai
hidup gue. Bagaimana mengikuti angin untuk mencari arah. Menemukan alasan
mengubah rel hidup gue. Dan tentunya, gue menemukan lo disini, di Kopenhagen.
“sama seseorang..”
“Scottish or Indonesian?”
Timpal
gue menirukan gaya bicaranya tadi. Persis. Nathan menoleh. Ia tersenyum manis
dan membenarkan topi merah gue. Lagi-lagi gue cuma memandangi dia dari sudut
mata. Dari sini, di dalam hati, di dalam diam. Kembali menatap lurus di depan.
Dari atas jembatan bata kecil yang melintasi arus air tengah kota. Kobenhavens Hovedbanegard yang
dikelilingi railways-nya terlihat
jelas dari sini. Diam-diam memiliki. Diam-diam takut kehilangan. Nathan
menjawab mantap.
“Indonesian”
entah kenapa saya suka lagunya David Cook - Always Be My baby (kayaknya). Padahal baru pertama denger, auto play blog ini. :D
BalasHapus*eh
haii haris,
Hapussuka lagunya yaa?? iyaa pelan-pelan suka suka lagunya, ntar suka blognya, ntar suka penulisnya wkwk :D
Fuuuh dasar, wkwk
Hapus